ITU ... KENAPA SEBESAR ITU? (POV GESAN AJI MERE)

302 56 4
                                    

Mau tahu definisi merepotkan?

Maka lihatlah wanita ini! Cucu Kaik Dalle yang aku kira calon istri kakek tua tersebut, justru bertanya padaku dengan mata tanpa dosa, di mana letak dia membuang sepatu pemberian Ampa.

Bolehkah aku menarik keluar lidahnya dan melilitkan pada lehernya?

Belum lagi menemukan sepatuku, wanita ini kembali membuat jantungku ingin pecah saking kesal padanya.

Dia pingsan!!

Ba.yang.kan! Dia, pingsan!!! Hanya karena terjatuh dalam danau yang airnya cuma sebatas lutut!

Awalnya aku tak perduli, mau bagaimana lagi, sesak akibat dongkol perbuatannya masih memenuhi dadaku. Justru aku berdoa, semoga otaknya yang jahil itu bisa bersih oleh kesucian mata air Danau Jempang. Akan tetapi karena selang beberapa detik wajah mulus cucu Kaik Dalle itu tak kunjung timbul dari dalam air, mau tak mau, aku yang sebenarnya sudah mandi di rumah terpaksa terjun menerjang air pekat berbau tak sedap karena banyaknya ikan kecil mati yang telah membusuk di bawah jembatan.

Maaf, tapi aku memang sejahat itu pada si anak dara bernama Fatma ini, setelah mengangkat tubuhnya yang tak ubahnya beton proyek jembatan—tubuhnya kecil lagi ringan, namun lucunya ia tak mengambang, malah tenggelam dengan sempurna seperti jangkar kapal laut— aku tidak kasihan sama sekali, malahan dengan tega aku menjentik segemas mungkin hidung mungil wanita itu.

Tidak! Tidak! Aku melakukan hal jahat tersebut bukan karena terpukau wajah cantik serupa putri tidur dalam dongeng pengantar tidur. Tidak, demi Tuhan. Aku melakukannya sebab aku benar-benar membenci wanita merepotkan ini.

Pencuri sepatu
Hari ini

"Hai sialan! Beraninya kamu meninggalkan aku terkapar di tengah jembatan dan menjadi tontonan warga!" 00.45

Aku membaca dalam hati pesan teks yang di kirim si Fatma. Bibirku tertarik membentuk huruf 'U', hampir saja terbahak, tapi ini sudah jam 12 malam, Mamak akan menegurku dengan ketukan dari kamar sebelah kalau nekat melakukannya.

"Semoga kamu mati membusuk di Neraka! Semoga 'itumu' mati fungsi! Dasar mesum! Dasar cabul! Dasar perjaka tua!!" 00.47

'Itumu'?

Wah! Bukan main otak cucu Kaik Dalle ini! Ck. Aku geleng-geleng kepala mengamati deretan huruf dalam layar ponselku. Kakeknya imam masjid, tapi generasi keduanya sungguh berbibir serupa rubah. Sungguh menakutkan.

'Dengar-dengar dari ceramhnya Kaik Dalle, wanita yang sangat suka menyebut 'masa depan pria' di akhirat kelak bakal diberi makan pasir Neraka. Wah, bulu kuduku meremang saat mengetik ini.' 12.55

Aku membalas chat cucu Kaik Dalle. Hatiku kegirangan, pasti di sana dia sedang terbakar hati membaca pesanku.

Nah,'kan. Benar saja! Namanya tiba-tiba muncul sebagai panggilan masuk.

Angkat? ... Tidak?

Angkat? ... Tidak?

Angkat saja!!

"Kamu kira kamu hebat? Kamu kira kamu siapa? Hah? Hah!! Hah?? Kamu mau cari mati?"

Kupingku seketika ditampar suara melengking wanita itu.

"Jangan kira kamu guru terus aku takut? Hah? Kamu kira kamu warga asli sini terus aku mau-mau saja dipermalukan kamu? Mimpi anda! MIMPI! Anda tahu siapa Kaik Dalle? KAKEKKU! Sesepuh kampung ini! Pendiri kampung ini! Kamu tahu seluas apa kebunnya? Berhektar-hektar!! Bahkan semua danau ini bisa jadi milik Kakekku! Tahu, kamu?"

Wah! Aku tercengang. Pandai sekali wanita ini sesumbar. Danau Jempang milik kakeknya? Astaga, aku hampir saja tak bisa menahan tawa terbahakku.

Aku takjub, sepanjang kalimatnya barusan, sepertinya dia melontarkan jalinan sumpah serapahnya dalam satu tarikan napas. Wah, wah, wah! Hebat! Mulutnya ternyata tak ada beda dengan kecepatan motor Mark Marquez Alenta dalam arena balap motor GP. Hmm, aku tidak yakin, tapi sepertinya bibirnya lebih laju.

"Sabar, Dek. Pelan-pelan saja. Nanti bibir adek terlilit, loh," ejekku membalas pamernya.

Astagfirullah! Agresif sekali wanita ini. Panggilan kini berubah menjadi video call.

Aku menggesar tombol hijau di tampilan Handphone-ku. Wajah bulat mungil Fatma seketika muncul memenuhi layar.

Hidungnya kembang kempis, sedikit merah di bagian ujung atas, mungkin karena efek dingin malam ini.  Mata cucu Kaik Dalle memicing tak suka. Alis matanya yang tebal—aku baru memperhatikannya malam ini—saling bertaut, mempertegas bahwa dia sungguh-sungguh sedang kesal.

"Berapa harga sepatu murahan itu?" tanyanya dari seberang telepon.

Lihatlah, bagaimanapun cantiknya wanita ini, angkuhnya kota tidak bisa hilang dari dirinya. Dia tidak bisa menghargai milik orang lain, baginya dan mungkin bagi orang-orang kota kebanyakan apapun bisa selesai dengan uang. Mereka tidak ingin tahu, bagaimana orang lain mendapatkan milik mereka, apakah melalui kucuran air mata atau darah, asal berlimpah materi, segalanya bisa selesai.

Satu lagi alasan kenapa aku harus membenci sampai ke liang kubur wanita merepotkan ini.

"Aku bisa membelikanmu sepuluh pasang! Kamu dengar? Se.pu.lu.h pasang!!" sambungnya.

"Apa uang Kakek, Nona yang kaya raya lagi pemilik danau ini hanya bisa membeli sepuluh pasang sepatu?"

"Nona! Nona! Kamu kira hidup di jaman Belanda? Kampungan banget, sih?"

"Setidaknya kalau kamu tidak bisa mendapatkan kembali sepatuku, maka ucapkan maaf. Walau tidak bisa menghapus dongkolku, mungkin aku bisa memaafkan kamu." Aku menarik napas, agak perih dada ini mengingat mungkin aku tak akan bisa menemukan peninggalan terakhir dari Ampa yang sengaja dibenamkan oleh wanita gila dalam ponselku ini.

"Perkara sepatu buluk, kamu tega menjemurku di bawah terik matahari? Asal Anda tahu ya, Pak Guru yang terhormat tapi tak bijaksana! Perawatan wajahku ini tidak sebanding dengan harga sepatumu itu. Lagipula sepatunya produk dalam negeri, kan? Tidak semahal sepatu luar! Sudah! Jangan sedih, nanti aku ganti! Sekarang minta maaf padaku!" Angkuh sekali Fatma ini, dia memintaku memohon maaf padanya padahal jelas sekali dia yang salah di sini.

"Selain memiliki bibir tak senonoh! Nona juga rupanya tak punya otak, yah!?" Benar! Aku harus menegurnya dengan keras. Dia harus tahu bahwa dia tak lebih dari perempuan yang berjalan di atas muka bumi dengan kepala kosong.

Wanita di seberang sana bangun dari sandarannya. Selimut yang tadinya menutupi seluruh bagian tubuh atasnya jatuh ke pangkuan gadis itu.

Sekarang pemandangan di depanku sungguh menjatuhkan liur—bagi pria mesum, tentu tidak denganku— tanktop tali spaghetti warna putih, kulit putih, Whah! Sungguh perpaduan sempurna! Astagfirullah, apa yang barusan otakku pikirkan? Aku cepat-cepat membuang muka ke samping, menghindari pemandangan yang akan menjerumuskan diri ke dalam zina mata.

"Lihat sini, perjaka tua! Jangan menghindari aku!!" Fatma menjerit. "Dengar, yah! Dengar! Aku, Fatma! Jangan sebut namaku Fatma Azizah kalau aku tidak bisa membelikanmu 100 pasang sepatu yang jauh lebih bagus dari punyamu yang kubuang! Perjaka tua!"

"Heh, Nona! Jangan bilang aku perjaka tua. Mana tahu perjaka tua ini nanti yang jadi suamimu! Hati-hati! Malaikat lewat, kamu jadi ibu anak-anakku!"

Fatma membawa ponselnya semakin mendekat. Kamera Handphone si anak kota bergerak ke sana- ke mari karena sang empunya memperbaiki posisi duduk dengan terburu-buru. Sial mataku salah fokus saat  video mengarah pada sesuatu yang tak seharusnya kulihat—apalagi kukagumi dalam hati.

"Pak? Pak? Bangun, Pak! Tidur anda terlalu nyenyak sepertinya! Aku? Jadi Istri, Anda? Najis!! Ibu anak-anak, Anda? Dih, tak sudi dunia akhirat!!" sengit Fatma.

Maaf Fatma, aku memang dongkol padamu. Masih membencimu, masih berniat menggantung lehermu dengan tajam lidahmu. Tapi dingin yang di bawa angin malam dari luasnya Danau Jempang, malam ini jauh lebih beku dari biasanya. Dan ... hal itu menghilangkan akal sehatku.

"Itu ... kenapa bisa sebesar itu?"

Yah, bibirku memang perlu di gosok dengan abu Neraka Jahannam agar bisa kembali suci!

****

🏡🏡Sendawar, 03 Maret 2022

Selamat membaca, semoga suka.

With love

❤❤❤

EthoyRipo

December RainyWhere stories live. Discover now