ROUND 5: Kesialan Tiada Akhir

6 2 0
                                    

Nama: Nisazhanie
Judul: Iram & Arga
Jumlah kata: 775 kata
Titimangsa: New York, Pulang. 3 Agustus 2022
Isi:

Arga masih duduk di ruangan itu dengan tangan masih terborgol, menatap pria yang dipanggil pimpinan. Saat Iram memilih pergi dan mengamuk, tetap tidak setuju dengan rencana kerja sama bodoh—walau sudah tahu rahasia yang dibeberkan pimpinan—Arga masih di sana.

Terpekur. Menatap lantai dengan pandangan berkabut.

Berbeda dengan Iram yang seperti tidak peduli, Arga tidak tahu kenapa ketika nama itu disebut sebagai dalang dari pembuatan virus maha bahaya … Arga tidak sanggup berkata-kata.

Hatinya. Arga menyentuh dadanya yang kembali berdesir mendengar nama itu lagi setelah dua tahun. Dia kira bekasnya telah sempurna hilang. Dia kira tidak akan ada lagi yang tersisa di lubuk hatinya. Nyatanya … napasnya kembali sesak, sakit, lalu perih. Bergumul dengan kenyataan pahit selama dua tahun hanya mabuk dan mabuk, mencoba melupakan

Berharap bayangnya tidak lagi tampak. Berharap getar tawanya tidak lagi terdengar.

Sekali lagi, Arga ditampar kenyataan.

Apa sebenarnya … dia belum bisa merelakan gadis itu?

“Di mana mereka sekarang?” Arga mendongak, maniknya berkilau penuh harap.

“Kabar terakhir yang kami terima, mereka ada di Istanbul. Dekat perbatasan.”

Arga mengingat-ngingat. Rasanya dia pernah ke sana dalam urusan tugas. “Apa itu desa Khaj?”

“Kami tidak tahu persisnya.” Pimpinan menggeleng. “Informan kami lebih dulu tertangkap sebelum kami selesai memproses datanya. Sepertinya penjagaan di sana sangat ketat, sehingga sedikit saja pergerakan mencurigakan akan di eksekusi.”

“Ya. Orang-orang sana terkenal tangguh dengan apa yang menjadi milik mereka. Apa sebab itu kau mengutus kami ke sana? Ke sarang singa itu?”

Pimpinan tersenyum jemawa. “Bukankah kalian para singa itu sendiri? Atau boleh kukatakan, dulu?”

Arga mendengkus. “Jaga mulut kotormu itu. Kalian orang-orang berdasi tidak tahu seberat apa medan di lapangan, hanya demi menuntaskan tugas tidak berguna itu. Nama kami tidak pernah dikenal, dipajang, atau disiarkan ketika menang perang. Hanya kalian orang-orang penghias kaca televisi yang menerima segalanya dengan tangan bersih. Sesungguhnya kalian tidak berguna.”

Arga melirik penjaga di belakangnya, hendak menahannya lagi, tetapi pimpinan melarangnya. Dengkusannya terdengar lebih keras. Melihat tangan yang diborgol, lalu dalam sekali hentak, besi melingkar itu lepas dari kursi, meninggalkan bagian yang lain di tangan Arga.

Ash bahkan menganga. Padahal dia terlihat tidak berdaya.

“Aku juga tidak akan ikut. Meski aku bukan bagian dari markas ini, tidak mengenalmu, tidak semerta-merta kau bisa mencucuk hidungku dengan mudah. Ah, sial aku banyak sekali bicara hari ini.”

Arga pergi tanpa dihalangi lagi. Menyusul Iram yang sudah menunggu bus di jalan besar.

“Ini tidak mudah, Pimpinan,” kata Ash.

“Ya, aku memang berharap tidak.”

***

Dua orang yang mempelopori pembuatan virus berbahaya ini adalah orang yang kalian kenal. Virus itu sudah selesai dibuat, tetapi tepat setelahnya mereka berdua diculik. Menurut informasi yang kuterima, virus itu akan dikembangkan lagi dan digabungkan dalam chip kode peluncuran nuklir. Dua orang itu akan sangat berguna selama masa pengembangan.”

Iram teringat lagi perkataan pak tua yang mengaku-ngaku adik dari ketuanya dahulu. Wajahnya memang mirip. Mirip sekali, tetapi tidak bisa memerintahkan Iram yang sudah lepas tugas sejak lama. Berhenti dari pekerjaannya sebagai agen rahasia.

Meskipun, harus Iram akui kalau dia sedikit tergerak untuk menerima ajakan itu. Mengingat salah satu orang yang disebutkan tadi adalah kenalannya. Atau kalau boleh Iram kembali ke masa lalu … calon mertuanya.

Iram menghempaskan punggung di sandaran bus. Memilih tidak memikirkan sesuatu yang bukan urusannya lagi.

Semuanya sudah tertinggal di belakang. Tidak ada yang perlu Iram ketahui tentangnya. Tidak perlu ikut campur.

Pimpinan sok suci itu pasti sudah mengganti orang yang akan menaati semua perintahnya. Ah ya, lagi pula ada si Agar-Agar. Musuh kurang ajar yang sudah merusak nama baiknya sebagai agen dan dianggap tidak becus.

“Argh, sialan sekali aku harus bertemu dengannya lagi. Dan apa? Menjadi tim? Cuih! Sampai rambut nenekku kembali hitam, aku tidak pernah sudi!”

“Bahkan sampai anjing berjalan dengan dua kaki, aku juga tidak akan sudi, Keparat!”

Iram mendongak mendengar cacian panjang yang membalas ucapannya. Melotot melihat Arga duduk di seberang kursinya.

“Apa yang kau lakukan di sini? Kau mengikutiku?”

Arga hampir saja meludah. “Jijik sekali kakiku sampai harus mengikutimu hingga kemari.”

“Lalu kenapa kau di sini? Bukannya kau tengah bekerja padanya?”

“Diamlah. Urus saja urusanmu sendiri.”

Arga mengepalkan tangan. Kenapa juga dia harus satu bus dengan orang gila ini? Seolah bus di dunia ini hanya tersisa satu dan mereka masih harus duduk berseberangan.

Menyebalkan.

Bus berhenti. Arga dan Iram turun di perhentian yang sama, lagi-lagi hanya mengulum umpatan. Di anatar semua tujuan perjalanan, kenapa juga mereka harus kembali berpapasan?

Mereka bahkan masih bertengkar siapa yang akan turun duluan dan terakhir. Tarik-menarik di pintu bus sampai supir bus meneriaki mereka karena menghambat pekerjaannya.

“Kalau mau berkelahi, cari tempat lain sana!” hardiknya.

Iram menggeram marah, Arga mengepal tinju.

Kesialan tiada akhir.

Iram & ArgaWhere stories live. Discover now