ROUND 3: Bertemu Rival

4 3 0
                                    

Nama: Nisazhanie
Judul: Iram & Arga
Jumlah kata: 913 kata
Titimangsa: New York, Markas Falgot, 3 Agustus 2022
Isi:

“Apa mereka sudah sadar?”

Seorang lelaki muda yang duduk di depan komputer menoleh, mengangguk takdzim mendapati pimpinan mereka menyambangi bagian monitor. Dia dengan sigap membuka kamera pengawas di kamar isolasi 127 dan 165, menampilkannya pada layar besar.

Ada satu orang pada masing-masing kamar yang diawasi. Satu yang berperawakan Asia sudah sadar, satunya lagi tengah mendengkur di lantai—jatuh dari kasur.

“Berikan aku kursi.”

Orang lain di ruangan itu segera memberikan kursi, memerhatikan pimpinan yang sepertinya sangat tertarik dengan dua orang di layar.

Pria Asia yang sudah bangun itu duduk di pinggir ranjang dengan raut bingung, seperti berusaha mencerna apa yang terjadi padanya, ada di mana dirinya sekarang. Netranya yang hitam menatap sekeliling kamar yang hanya berupa gedung tanpa pintu.

Sangat cocok disebut kamar isolasi.

Melihat kamar 165, pimpinan menunjuk pria yang masih mendengkur itu. “Apa dia mabuk saat dibawa kemari?”

Lelaki muda yang bernama Ash itu menjawab, “Benar, Pimpinan. Agen 006 menemukannya dihajar penjaga club di gang sempit. Sepertinya dia membuat masalah.” Ash tidak memiliki kode angka sebagai pengganti namanya. Dia bukan petugas lapangan.

“Hm, si sniper. Aku tidak yakin kenapa dia merekomendasikannya. Sniper itu sudah menjadi pemabuk berat sekarang. Tidak terlihat menjanjikan untuk menjalankan misi.” Pimpinan memerhatikan dua orang itu lagi, lalu memberi perintah, “Buka pintunya.”

Ash tidak langsung melaksanakannya, memamerkan raut bingung yang kentara.

Kenapa malah dilepaskan setelah susah payah ditangkap?

Mereka bukannya tidak melawan saat digiring kemari. Apalagi pria Asia itu. Entah berapa penjaga yang sudah dikerahkan, tetapi dia selalu lolos, sampai harus dibius agar perjalanan aman. Lain lagi dengan satunya yang mabuk.

Pimpinan organisasi generasi ketiga itu tersenyum lembut. Dia pimpinan yang paling ramah dibanding dua pendahulunya. “Buka saja. Biarkan beberapa penjaga kita menghadang mereka. Aku ingin lihat seberapa layak mereka.”

Ash akhirnya mengangguk, “Baik, Pimpinan.”

***

Arga terbangun dengan sakit kepala yang sangat dan tenggorokan kering. Merasa terganggu dengan suara bising di luar.

Dia duduk, melihat sekitarnya didominasi putih dengan pencahayaan terang. Arga memicing. Jelas ini bukan apartemennya yang remang-remang.

“Aku di mana?” Seingat Arga, dirinya tengah bergumul dengan dua orang penjaga club yang akan melemparkannya ke tempat sampah, dan … dan, “Setelah itu aku tidak ingat apa-apa.”

Arga melihat pintu terbuka. Dia langsung saja berjalan keluar, mencari tahu di tempat apa dia berada. Warna di luar ruangan berbeda dengan putih di kamar tadi. Di sini berwarna biru salju.

Siapa pun yang memilih warna, Arga akan berpendapat kalau pilihannya tidak cocok dengan lorong panjang—yang seolah—tanpa ujung ini.

“Ini rumah sakit?”

Bising-bising yang sempat didengarnya sudah tidak ada, berganti senyap. Arga terus berjalan menyusuri lorong. Kepalanya masih cenat-cenut, tenggorokannya sangat kering, dia sangat butuh air sekarang.

“Apa tidak ada orang di sini?” tanyanya pada diri sendiri.

Hampir tiba di ujung lorong—Arga kira begitu—sebuah tongkat tiba-tiba melewati wajah. Sedikit lagi menyentuh hidung mancungnya jika saja refleks Arga tidak bagus.

Satu orang. Dua, tidak. Lebih banyak lagi. Mereka mengepung Arga, membuatnya ada di tengah seorang diri.

Pakaian orang-orang ini aneh dengan banyak warna. Tangan mereka memegang tongkat yang lebih mirip tongkat polisi berperut buncit. Apa ini penjara?

“Hei, hei, kalian. Sebelum kita berkelahi katakan di mana aku berada? Apa ini penjara?”

Arga tidak ingat kapan terakhir kali dia cerewet seperti ini. Dahulu pribadinya sangat irit bicara. Lebih banyak beraksi daripada membuang ludah berharganya.

Oh, apa efek cerewet gadis itu terbawa hingga sekarang? Efek yang tidak memberi faedah apapun.

Orang-orang itu tidak berniat menjawab pertanyaan Arga, memilih menyerang dan melumpuhkan Arga yang dianggap menyusup ke markas. Setidaknya itu yang dilaporkan markas pada mereka.

Mereka satu per satu atau bersamaan maju mengacungkan tongkat, mengincar apapun yang bisa mengenai daging Arga. Membuat jatuh, mengaduh sakit, berdiri, lalu terjerembab lagi.

Pengaruh alkohol masih belum sempurna hilang darinya, fokusnya pecah, dan terus saja mendapat pukulan dan tendangan.

Arga terbatuk sebentar setelah mendapat tendangan di perut. Mengangkat tangan ke udara, meminta mereka berhenti sejenak. Tubuhnya sakit semua dan nyeri. Akibat sudah lama tidak beradu tinju dengan seseorang, otot-ototnya melemah.

Arga berkedip. Matanya dengan cepat menghitung jumlah musuh, dia memejamkan mata, berusaha fokus—menggeleng sejenak—kemudian tangannya terkepal dengan kuda-kuda yang mantap. “Maju kalian.”

Sudah cukup main-mainnya.

***

Iram melengos saat pukulan mengarah ke wajahnya, mengirim satu pukulan telak di pelipis sebagai balasan. Tidak berhenti. Dia maju begitu dua lainnya makin ganas menyerang, menendang di kiri, menangkap leher sebelah kanan, membantingnya ke lantai.

Iram mengambil dua tongkat mereka, berlari ke kerumunan orang yang datang menyambutnya. Iram menyeringai, berteriak saat adrenalin menghentak kepalanya, mengalirkan api pada tangannya yang tanpa ampun memukul leher, punggung, hingga aset pribadi lawan.

Iram kembali ke pertarungan. Dia bisa merasakan darahnya sangat mendidih dan bisa meletus kapan saja.

Vakum dari dunia bawah tanah, Iram menyadari satu hal. Dia sangat menyukai bagaimana tubuhnya bertubrukan dengan lawan, sendinya bergolak lebih cepat dari biasanya, napasnya mengencang, dan … bagaimana dia akan selalu menang atas setiap pertarungan. Entah berapa pun jumlah lawan.

“Kalian pengecut sialan, hanya bisa bergerombol bukan? Seperti ikan piranha, heh? Tidak sanggup menghabiskan satu bangkai jika hanya sendirian. Terima kasih sudah menjadi samsak tinjuku.”

“Jangan banyak bicara! Serang dia!”

Mereka seperti lebah. Datang dari mana saja jika ada celah. Di sepanjang lorong yang—seolah—tidak ada habisnya itu terus bermunculan orang-orang berpakaian aneh ini. Anehnya lagi, Iram tidak merasa kewalahan.

Gairahnya terbangun lebih besar dari yang seharusnya. Semangat sekali menangkis sana, memukul sini, hingga punggungnya bertabrakan dengan punggung seseorang.

Iram berbalik cepat, hendak memberikan pukulan terbaiknya, sedangkan kerahnya dicengkeram pria bermanik biru.

Mereka saling menatap untuk waktu yang lama, sebelum akhirnya berteriak bersamaan, "KAU?!"

***

Iram & ArgaWhere stories live. Discover now