Cinta Monyet || Bagian Kedua

14 3 3
                                    

Lihat! Bukan hal penting, bukan? Sudah hampir satu bulan jadi anak SMP, tidak ada hal yang merepotkan. Namun, kali ini aku sangat kerepotan karena ulahku sendiri.

Bukan tentang dia, tentu saja. Bukan tentang laki-laki yang di hari pertama aku jadi anak SMP sudah berhasil membuatku heran dengan sikapku sendiri. Ini tentang kecerobohanku yang bangun kesiangan.

Saat ini aku sedang berlari menuju sekolah yang ditempuh sekitar sepuluh menit berjalan. Hanya saja, karena dari tempatku berdiri saat ini bel sudah terdengar, jarak itu terasa sangat panjang.

"Ayo, naik!"

Sebuah motor berhenti di sebelahku. Terkejut, tentu saja. Kukira Ayah yang menyusul, ternyata Mas Dika. Benar, Mas Dika. Laki-laki yang sudah lama tidak mengganggu pikiranku.

Aku yang bengong, langsung disadarkan Mas Dika dengan guncangan pada bahu kananku. Aku sedikit ragu, tetapi jika aku masih berdiri di sini, kami berdua akan terlambat.

Aku memperhatikan punggung Mas Dika yang diselimuti seragam. Aku bisa bernapas lega, hari ini bukan hari Senin. Jika dihukum, kami tidak akan dipermalukan di depan para siswa dan guru yang berbaris.

Mas Dika memarkirkan motornya, lalu menyuruhku segera naik ke kelas. "Masih ada waktu sebelum guru masuk. Ayo, cepat!"

"Makasih banyak, Mas."

Setelah Mas Dika mengangguk, aku mempercepat langkahku menuju kelas. Syukurlah, benar kata Mas Dika, guru yang mengajar belum datang. Hanya saja, beberapa pasang mata menatapku heran, mungkin karena melihatku untuk pertama kalinya terlambat.

Tanpa memikirkan berbagai tatapan itu, aku segera duduk di kursiku. Aku bisa lolos dari guru yang belum sampai kelas, tetapi aku kepikiran Mas Dika. Takut guru yang mengajar di kelasnya sudah datang. Semoga dia bebas dari hukuman.

Pelajaran pertama pun akhirnya dimulai, tetapi guru yang datang bukan guru yang seharusnya mengajar. Rupanya, beliau sedang ada kepentingan sehingga tidak dapat mengajar hari ini.

Aku sebagai sekretaris yang sebelumnya dipilih oleh wali kelas pun diminta untuk menulis materi di papan tulis. Setelah guru tersebut meninggalkan kelas, aku langsung melaksanakan tugasku. Apakah teman-temanku duduk tenang dan mulai menulis? Tentu saja tidak, apalagi yang laki-laki.

Tanpa memedulikan mereka, aku tetap menulis. Selepas beberapa menit menulis, tinta spidol yang kugunakan mulai pudar. Tugas menulis dilanjutkan temanku, sementara aku pergi mengisi spidol tersebut di ruang TU.

Saat keluar dari kelas, aku berpapasan dengan Mas Dika yang penuh dengan peluh di keningnya. Aku menautkan alis, mengapa Mas Dika ada di kawasan kelas tujuh dan delapan saat jam pelajaran?

Tentu aku sangat heran. Bukan hanya karena Mas Dika yang merupakan siswa kelas sembilan, melainkan jarak kelasnya yang cukup jauh dan cukup melelahkan jika berjalan kaki dari kelasnya sampai di depan kelasku.

Biar kujelaskan. Sekolahku berdiri di atas sebidang tanah seperti bukit yang membuatnya terlihat megah. Di bagian paling tinggi dibangun jajaran kelas 7A sampai 7D, kantin, WC siswa kelas tujuh, taman di samping kelas tujuh, jajaran kelas 8A sampai 8C, ruang guru olahraga sekaligus tempat penyimpanan barang-barang yang berkaitan dengan bidang olahraga, dan WC siswa kelas delapan. Bangunan-bangunan ini membentuk huruf L.

Sisanya digunakan sebagai lapangan upacara, lapangan basket, dan tempat permainan MOS waktu itu. Di sebelah ruang guru olahraga terdapat tangga menurun menuju perpustakaan, kantin, ruang kelas 8D dan 9D. Sebelah kelas 8D terdapat persimpangan jalan, ke kiri menuju dapur, gudang, WC guru, ruang TU, ruang tamu, ruang kepala sekolah, koperasi, ruang multimedia, dan tempat parkir.

Sementara jalan ke kanan, menuju aula yang sekaligus digunakan untuk laboratorium IPA di salah satu sisinya, di sebelah laboratorium ada tempat parkir, dan masjid. Sementara di sebelah kanannya terdapat kolam ikan dan ruang OSIS. Di dekat kolam yang terletak di depan aula terdapat tangga menurun menuju barisan kelas 9A sampai 9C.

Mas Dika ada di kelas 9A. Lihat? Begitu jauh bukan jarak kelas Mas Dika dengan kelasku? Pertanyaanku, untuk apa dia jauh-jauh ke atas? Namun, saat melihat seragamnya sedikit berantakan, aku merasa hal ini ada sangkut pautnya denganku.

"Mas Dika dihukum?" tanyaku takut-takut.

Senyum terkembang di wajah Mas Dika. "Lagi kerja bakti mandiri, kok, Ra."

"Mana ada kerja bakti mandiri," sanggahku.

Mas Dika berjalan mendekat sambil terkekeh. "Kamu mau ke mana?" tanyanya mengalihkan obrolan.

Aku berjalan diikuti Mas Dika di sisiku. "Mau isi spidol."

"Tulisan kamu bagus."

"Hah?"

"Di papan tulis."

Aku mengangguk. Sepertinya saat sampai di depan kelasku, Mas Dika melihatku tengah menulis. Aku memalingkan wajah saat kurasa panas di area pipi. Kenapa tiba-tiba? Demam? Tidak mungkin, sakit saja jarang.

Aku izin saat langkah kami sampai di ruang TU. Kupikir saat Mas Dika menganggukkan kepala, ia akan kembali ke kelasnya. Ternyata dia masih berdiri di tempat yang sama.

Aku yang mengisi tinta spidol di depan ruang TU pun dibantu olehnya. Tanpa kata, ia mengambil spidol dan botol yang berisi tinta. Sudah kutolak, tetapi Mas Dika mempertahankan dua benda itu. Ada apa denganmu, sih, Mas?

"Maaf, ya, Mas."

Mas Dika menoleh. "Kenapa minta maaf? Aku bantuin kamu, loh. Bukan disakiti kamu."

Kugelengkan kepala. "Gara-gara Tira, Mas Dika dihukum."

"Tira, aku 'kan udah bilang. Tadi itu kerja bakti mandiri, bukan dihukum. Sok tahu kamu."

Aku menatap Mas Dika bingung. Sebenarnya apa maksud perkataannya itu? Mengapa harus ditutupi? Mengapa dia tidak marah? Mengapa dia menatapku seperti siswa di kelasku menatap siswi yang berparas cantik? Oh, ayolah, aku tidak secantik itu.

"Nih." Mas Dika menyerahkan kembali dua benda itu. "Lain kali datang lebih awal, ya. Dah." Mas Dika berbalik sambil mengangkat salah satu tangannya.

Aku bergeming dibuatnya. Harusnya dia marah, 'kan? Namun, mengapa? Mengapa dia harus melakukan semua itu? Mengapa dia tiba-tiba ada di sebelahku saat aku berlari tadi? Padahal rumah kami saling berseberangan. Dari mana dia sebenarnya?

Aku tersadar, benar, saat aku perhatikan punggung Mas Dika tadi pagi tidak ada tas. Mungkinkah dia sudah sampai sekolah, tetapi pergi ke arah rumahku? Ingin menjemput Mas Rama atau ada niat lain?

Timeline (Versi Nafazzah)_[SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang