[0] Terkuburnya sebuah Ingatan

5 3 0
                                    

Suara teriakan anak kecil itu benar-benar nyaring. Ditambah kakinya dihentak-hentakkan pada lantai rumah, ia melempar barang apa pun yang bisa dicapainya ke sembarang arah. Ingusnya menciprat ke mana-mana, ketika kepalanya ia geleng-gelengkan dengan brutal. Kepalan tangan kecil itu memukul sang ayah yang sepertinya pasrah saja.

Sinar mata lelaki paruh baya itu benar-benar menyiratkan permintaan bantuan pada siapa pun. Tapi, tampaknya tak ada yang peduli. Baik istrinya yang sedang memasak di dapur, ataupun anak nomor dua yang turut membantu.

"Astaga, dasar gak becus! Gak bisa apa bujuk anak sendiri!"

Sang ibu mulai menggerutu. Dia meletakkan spatula, mematikan kompor, lantas masuk ke dalam rumah dengan wajah ditekuk seperti kertas lipat. Yang tersisa di dapur hanya anak remaja yang sebentar lagi akan menginjak umur lima belas. Dia menghitung dalam benaknya sebanyak tiga kali. Tepat hitungan ketiga, teriakan ibunya menggelegar satu perumahan. Disambung sang ayah yang menegur, tapi malah berakhir keributan yang lebih besar.

Dia bergidik saja. Tak peduli. Terus mengerjakan tugasnya menggoreng ikan. Tak peduli meski adiknya yang jadi korban atas kekerasan rumah tangga itu. Tak peduli meski teriakan adiknya menjadi dua kali lebih kencang dan saling bersahut-sahutan dengan suara yang lain. Tak peduli sama sekali.

Helaan napas terbuang, meski dia berusaha menanamkan dalam hatinya untuk tidak peduli, nyatanya tubuhnya malah bergerak masuk ke dalam rumah untuk mengecek keadaan.

Ketika sampai di sana, tubuhnya membeku. Matanya terbelalak lebar. Ibunya mencoba mencekik adiknya. Dan dia tidak bisa memberi reaksi apa pun sama sekali.

Detik berikutnya, ia tidak ingat apa pun lagi. Seolah seluruh dunianya menggelap hingga menyelimuti hatinya

=••=

Dia yakin sekali saat itu tidak pingsan. Dia sangat percaya ketika itu, dirinya malah kembali ke dapur. Sama sekali tidak membantu. Dia juga tidak ingat apa yang dilakukan ayahnya ketika insiden itu terjadi. Dan apa adiknya baik-baik saja. Karena ketika dia mendapatkan kembali kendali atas kesadarannya, ia sudah berada di kamar. Sedang mencoba untuk tidur. Ia bahkan ragu, apakah tadi itu mimpi, atau inilah yang mimpi dan saat ini dia tidak bangun. Atau apakah ia mengalami lucid dream lagi tanpa keinginannya.

Semuanya seakan buram. Seperti kaca yang dipenuhi embun bekas hujan deras. Tidak terlihat dan samar-samar. Sulit untuknya menemukan keping ingatan yang harusnya ada dalam memorinya.

Tapi, bukannya mengingat hal itu, dia malah ingat hal lain. Masa kecilnya yang begitu berwarna. Dan itu begitu menyebalkan ketika memori yang tak ingin diingat lagi, malah muncul tanpa diminta. Jadi, agar hal itu segera menghilang, dia mengambil gawainya. Tak peduli meski jam sudah menunjukkan pukul satu malam. Toh, lagipula dia akan tetap terbangun jam lima tepat meski tidur di jam berapa pun.

Dia tenggelam dalam euforia yang disajikan konten dalam gawainya. Sesekali, terisak saat membaca cerita sedih. Lalu berusaha menahan tawanya ketika kedapatan hal lucu. Itu cukup membuatnya melupakan hal yang tadinya membuat ia kebingungan bukan kepalang.

Lalu saat waktu bergulir menjadi jam dua lewat, ia melepas gawai dari pandang. Memandang kelambunya kosong, sembari mengorek ingatannya tentang perkataan guru wali kelasnya.

"Life is simple. Mudah ketika kita menanamkan dalam pikiran dan hati, bahwa segalanya akan baik-baik saja. Semuanya akan berlalu, tidak perlu terlalu dipikirkan. Positif thinking. Insyaallah, itu akan jadi doa agar urusan kita dipermudah-Nya."

'Ya ... yang tadi sudah berlalu juga, gak usah dipikirkan, 'lah.'

=••=

Chapter: Prolog - End

-22722-

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 22, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Candala dalam AsaWhere stories live. Discover now