Bab 8 Di Antara Warna Ungu

Start from the beginning
                                    

"Kenapa?" ini terdengar aku akan membantah Papa.

"Papa tidak pernah melarangmu berteman dengan siapapun, tapi khusus Harris-ini adalah pengecualian." Tegas Papa berhasil melukai hatiku. Apa saat bertemu, Harris melakukan kesalahan fatal sampai Papa seperti ini?

"Mai butuh alasan, Pa."

"Kalian memiliki dunia yang berbeda, sudut pandang yang berbeda dan anggapan tentang nyawa yang berbeda," Papa mulai menjelaskan, tapi tidak membuatku paham. "Oh ya, apa yang kamu tawarkan saat menyelamatkan dia?"

Aku mengkerut dan tidak berani menatap Papa. "Kertas kosong yang ditandatangani." Suaraku seperti bisikan.

"Maida...." Papa menghela napas, aku tahu bahwa aku sudah membuatnya khawatir. Lagi. mata Papa menatap tajam pada Harris yang masih pingsan, "sekalipun dia mati, jangan melakukan kebodohan lagi!"

Nyaliku raib mendengar Papa membentakku. Ini adalah pertama kalinya. "Maafin Maida, Pa... Maida nggak bisa lihat dia-"

"Lain kali, gunakan logikamu." Nasehat Papa dan aku sejak awal sudah membangkangnya. Aku sudah menggunakan logika dulu, tapi yang kuperoleh, logika hanya menuntunku dari silogisme a ke b ke c dan seterusnya, tapi urung membawaku dalam kebahagiaan.

Aku hendak mendebat Papa, bibirku sudah terbuka dan siap mengeluarkan alasan, sayangnya pita suaraku bungkam mendadak karena melihat sosok yang baru saja masuk setelah pintu kamar diketuk. Ayah Harris beruluk salam, memberi kami senyum teduh dan menghampiri putranya yang tidur di ranjangku.

Abah sepuh hanya menatap Papa, lama sekali, seolah mereka saling berbicara lewat tatapan mata. Aku mendadak seperti alien yang tersesat dan tidak paham bahasa yang digunakan orang-orang di sekitarku. Benar-benar tidak tahu apa-apa, sampai akhirnya, Papa menghela napas panjang.

"Nawaila, aku ingin bertanya padamu." Kini Abah Sepuh mengajakku bicara, aku mengangguk, tetap tidak berani menatap wajah beliau. "kamu tahu apa itu wasilah dan ghayyah?"

Meskipun aku mengerti arti dua kata itu, aku belum bisa menyimpulkan ke arah mana Abah Sepuh mengerucutkan pembicaraan ini, "Wasilah itu alat untuk mencapai, sementara ghayyah adalah tujuan akhir."

"Sekolah, pesantren, madrasah, itu wasilah atau ghayyah?"

Dengan mantap aku menjawab, "wasilah."

"NU, Muhammadiyah, dan semacamnya itu wasilah atau ghayyah?" Abah sepuh masih mengurai senyum ramah, aku berpikir sejenak. Agak ragu aku menjawab.

"Wasilah."

"Islam, Khatolik, Hindu dan semacamnya itu wasilah atau ghayyah?"

Otakku langsung macet. Agama itu tujuan hidup manusia atau sebagai alat untuk mencapai sesuatu? Jika dijadikan tujuan hidup, mengapa setiap manusia memiliki tujuan yang berbeda, jika bukan... untuk apa aku memeluk atau mempunyai agama? Apa hanya sekedar pelengkap dalam kartu identitas, sebagai buah bibir, sebagai status... apakah agama hanya distempeli sebagai materi yang bisa diukur, ditilik dan dijadikan perdebatan tiada akhir? Atau agama hanya dijadikan sebagai tempat menghujat. Yang suka mendatangi kuburan-disebut kafir, padahal mereka ke kuburan untuk takziah dan mengingat mati. Yang mempercayai pancasila sebagai dasar negara disebut tidak syar'I sebab konsep Islam adalah khilafah? Apakah ada dalil dalam Al Qur'an mengenai khilafah? Lalu bagaimana pada masa dinasti Abbasiyah, Umayah dan lain-lain? Dinasti Umayah terbentuk dengan mengalirkan darah sesama muslim. Pembunuhan Ali Bin Abi Thalib, Pembantaian Padang Karbala, apakah memang seperti itu konsep khilafah? Dalam otakku yang sederhana ditambah pengetahuanku yang alakadarnya, bahwa demokrasi, monarkhi, atau khilafah itu hanyalah wasilah. Sebuah alat untuk menciptakan perdamaian, keadilan dan cinta. Rasulullah dulu saat menaklukkan Mekkah memaafkan penduduk Mekkah, menciptakan perdamaian, sehingga banyak yang berduyun-duyun masuk Islam. Rasulullah tidak melakukan pembantaian pada mereka yang menyerah, meskipun yang menyerah belum masuk Islam. Itulah ajaran yang kupercayai, Islam. Islam bukan ajaran yang menyerukan kebencian, merasa paling benar dan berhak mengadili siapa saja dengan cara semena-mena.

Nuraniku terketuk. "Agama Islam adalah wasilah."

Luka yang Kau Tinggal Senja Tadi (Complete)Where stories live. Discover now