PROLOG

344 35 19
                                    

Maudy tidak pernah berhenti berharap atas kedatangan Jeno kembali. Lelaki yang masih senantiasa ia simpan rapi namanya di lubuk hati terdalamnya, si penyembuh luka sekaligus pemberi luka juga. Jika ada kata lebih dari sabar, mungkin sudah sepantasnya dinobatkan pada gadis ini. Selama dua tahun lamanya, menunggu kepastian yang tak kunjung datang. Ia selalu bertanya pada dirinya sendiri, sebenarnya apa yang salah? Dirinya kah?

Jika mengingat perihal status, mungkin Maudy tidak perlu repot dan cemas atas ketidakhadiran Jeno lagi. Maudy bukan siapa-siapa lelaki itu, tapi perasaannya yang membuat dirinya sendiri berpikir, bahwa Jeno adalah orang terpenting dihidupnya. Apakah sebaliknya? Maudy juga tidak tahu. Yang jelas, tidak ada kata menyerah untuk menunggu Jeno kembali, Maudy akan terus menunggu dan menunggu, sampai suatu keadaan dimana ia akan dipaksa untuk berhenti dan mengikhlaskan.

Jevano Mahendra. Yang kerap biasa dipanggil Jeno.

Nama itu selalu terngiang dipikiran gadis ini setiap hari. Maudy hanya ingin melihat wajahnya, atau lelaki itu membalas pesannya barang sekali. Maudy hanya rindu. Semua orang tidak tahu jika setiap malam ia selalu meminta agar dipertemukan dengan Jeno walaupun dalam mimpi. Sebenarnya Jeno kemana? Apakah dia sehat? Sudah makan? Atau dia sudah melupakan Maudy yang dua tahun kebelakang menunggu kehadirannya.

"Tunggu gue pulang..."

Kalimat yang selalu Maudy jadikan penyemangat dalam penantiannya.

Maudy yakin Jeno akan datang kembali padanya, mengusak surai panjangnya, memeluknya, berlarian dibawah hujan, meminjamkan hoodie lelaki itu untuk menjaga Maudy agar tetap hangat. Maudy teringat sekali saat itu, dimana ia masih duduk dibangku kuliah, masa yang indah bersama Jeno. Jeno si dingin dan irit ngomong, dan berubah menjadi sosok budak cinta ketika mengenal Maudy. Bukannya percuma jika tidak ada status sama sekali? Persetan dengan status, yang kini Maudy harapkan hanya kedatangan Jeno. Hanya itu.

Tidak ada yang tahu, setiap akhir tahun tepatnya bulan Desember ia selalu menunggu kedatangan Jeno dibandara. Mungkin seperti orang gila semacamnya, menunggu yang tak pasti dan membawa dengan tangan kosong. 

Kini, tahun ketiga dimana dirinya berdiri di tengah hiruk pikuk orang-orang yang berlalu lalang di bandara ini. 

Dan seperti tahun sebelumnya, Jeno tak kunjung datang.

"Kak Jeno, gue harap lo datang walaupun perasaan lo udah gak sama kaya dulu. Gue gak masalah. Gue cuman pengen mastiin lo tetep ada di dunia ini dengan keadaan sehat. Itu aja!"

Tak terasa air matanya mengalir, berlomba-lomba berjatuhan. Mungkin ini saatnya Maudy untuk memilih jalan lain. Yaitu melupakan.

Ini akan jadi tahun terakhir dirinya menunggu Jeno. Setelah itu, Maudy hanya berserah pada takdir.

🦋🦋🦋

Minju tersenyum simpul melihat pantulan dirinya di cermin. Ia berencana keluar untuk berjalan-jalan santai di sekitar rumahnya.

Tahun baru ini, akan menjadi awal baru bagi dirinya untuk menata kembali hidupnya yang sudah murung dua tahun belakang ini. Sebisa mungkin Maudy akan tampil lebih ceria, terlebih dengan melupakan lelaki itu.

Jalanan sore ini terasa lenggang dari biasanya, aroma petrikor menusuk indra penciuman gadis yang mengenakan dress floral dibalut kardigan rajut itu. Maudy memasukan tangannya kedalam saku kardingan, karena cuaca sore ini cukup dingin. Hujan deras mengguyur kota setengah jam yang lalu. Jalanan becek, dan Maudy bisa melihat pantulan dirinya diatas genangan air.

Lagi dan lagi, pikiran itu menghantui Maudy. 

Siapa lagi kalau bukan Jeno.

Dengan segera, Maudy menepiskan pikiran buruk itu dan kembali melanjutkan jalannya sembari bersenandung kecil. Sebuah tangan menariknya membuat Maudy membalikan badannya.

Belum Usai | Lee Jeno & Kim Minju ✔️Where stories live. Discover now