Prolog

29.3K 1K 98
                                    

Jakarta, 2004.

Gadis itu memeluk dirinya sendiri, seakan tak ingin seorang pun menyentuhnya. Keheningan malam yang seharusnya menjadi malam kegembiraan, kini berubah menjadi petaka bagi dirinya sendiri. Bajunya sobek akibat sebuah paksaan, bahkan wajah polos dan cantik yang menjadi identik dirinya kini hilang dan tergantikan oleh tatapan takut dan waspada. Tak sampai hitungan menit, turunlah bulir-bulir kristal air dari langit. Diiringkan dengan gelegar guntur yang membuat jantung berdetak kencang, namun gadis itu tidak terpengaruh oleh datangnya hujan dan petir yang saling bersautan di langit.

Seperti bayi yang kehilangan botol susu, dia terus mengisap ibu jarinya. Air hujan terus membasahi bumi tanpa menyadari gadis yang masih duduk ditengah hutan, bahkan kemungkinan besar tak ada seorang pun yang mengetahui keberadaan gadis itu.

Selain gadis itu, ternyata ada seorang pemuda bertubuh gagah yang sedang sibuk mengelilingi hutan, mengabaikan kaos favoritnya terkoyak oleh tajamnya ranting pohon. Hanya satu tujuannya memasuki hutan belantara itu, mencari gadis yang setengah mati membuatnya khawatir bahkan lebih ia khawatirkan dibandingkan dirinya sendiri. Tangan kokohnya itu terus menghapus air yang membasahi matanya, ia terus menajamkan mata cokelat beningnya, menahan segala emosi yang siap ia luapkan.

Tapi tunggu! Matanya menangkap seseorang yang duduk menekuk dengan pandangan kosong, wajah yang sangat ia kenal sejak kecil. Semua emosi yang terpendam kini hilang bersama air yang mulai berhenti turun namun masih mengeluarkan suara ledakan di atas awan, kaki panjangnya langsung menghampiri.

Hatinya perih, emosinya kembali melunjak, bahkan pohon yang baru saja ia tinju hingga kepalan tangannya memar tidak bisa meredakan itu semua. Namun percuma, semua tidak akan kembali seperti semula atau bahkan menyesali yang telah terjadi pun tak ada gunanya hingga kakinya tidak lagi berfungsi normal ia menjatuhkan diri di hadapan gadis itu, merengkuhnya dalam pelukan seorang kakak yang merasa sangat tidak berguna untuk adiknya.

"Ayo kita pulang!" pemuda itu perlahan mengangkat tubuh gadis yang kini tidak berubah, tubuhnya sedingin udara Puncak.

Tak ada satu pun yang menutupi air matanya, semakin ia melihat gadis itu semakin dalam pula perih dihatinya. Tak peduli lagi dengan wajah tampan yang selalu diberi julukan 'dingin' setiap menatapnya, karena malam ini wajah itu serapuh kristal yang siap pecah sewaktu-waktu.

♝♝

Cerita ini sudah ending, jika ingin membacanya silahkan follow akun penulisnya. Karena beberapa part di private demi berbagai kenyamanan penulis;)

Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang