Belum ada satu menit, Raga memunggungi mereka. Ernest yang sangat ingin meminta bantuan kakak kelasnya tersebut akhirnya angkat bicara. "Bisa gak kita jeblosin seseorang masuk ke penjara pake kekuatan kita?"

Mendengar Ernest mengajukan pertanyaan itu, Raga sontak memutar tubuhnya. "Emang siapa yang mau lo jeblosin ke penjara? Dan ..., kenapa?"

Ernest kembali diserang panik. Bibir kecilnya seolah kembali terkunci untuk menjelaskan secara rinci alasannya menyampaikan hal itu.

Merasa dirinya harus turun tangan sebelum Raga kehabisan kesabaran, Baron buru-buru menyela, "Kakak Perempuan Ernest mengalami hal yang tidak adil semasa hidupnya. Dan Ernest pengen menuntut keadilan yang harusnya Cece Meimei dapatkan saat dia masih hidup dulu." papar Baron menarik Raga untuk memposisikan tubuhnya duduk bergabung satu meja bersama mereka.

"Udah berapa lama kejadian itu terjadi?"

"Se-sepuluh tahun yang lalu."

Mendengar jawaban dari Ernest, Raga refleks memukul keras permukaan meja di hadapannya. "Gak bisa." ungkap Raga yang dihadiahi delikan mata dari Ernest yang semula hanya menundukan kepalanya saja.

"Maksud Kakak?"

"Gak mungkin bisa." Papar Raga penuh penekanan. "Orang yang pengen lo jeblosin ke penjara itu akan selamanya bebas."

"Loh, kok gitu sih?" Baron mengernyit bingung. "Kenapa Kak Raga ngomong gitu? Terus keadilan buat Kakak Perempuannya Ernest gimana? Meski pada akhirnya Cece mutusin buat bunuh diri ..., tapi setidaknya, sebagai adik yang berbakti, Ernest pengen memberi hukuman buat bajingan-bajingan yang udah bikin keluarganya itu menderita!"

"Kami juga punya bukti akurat. Cece rupanya nulis semua tragedi keji yang dia alami di buku hariannya. Setelah sekian lama, akhirnya gue dan keluarga gue tahu bahwa Cece gak dihamili pacarnya. Tapi diperkosa. Bahkan, semua ciri Si Pelaku pun tertulis jelas di sana." sambung Ernest seraya memamerkan sebuah buku berwarna pink di hadapan Raga.

"Masalahnya itu udah sepuluh tahun terlewati, Bro! Udah selama itu! Jadi barang bukti lainnya pasti udah kehapus. Dihapus sama Pelaku dan dihapus juga sama Alam. Oke gue akui, buku itu emang sebuah bukti yang kongkret. Tapi itu gak cukup kuat. Meski kita bisa aja sih, datengin tuh TKP buat ngambil sampel darah dari kejadian itu, lewat penarikan gaib. Atau ..., kita bisa aja tanya-tanya sama jin sekitar yang tahu saat kejadian itu terjadi. Setelah kita ngumpulin itu semua, kalian pikir ..., Polisi bakal langsung percaya? Yang ada mereka bakal nuduh kita gila. Semua hal itu gak akan ngubah apapun." tandas Raga menciptakan kegusaran besar yang begitu kentara lewat mimik wajah lesu Ernest.

Rupanya, fakta yang telah lama terpendam bersama sang Kakak yang sekian tahun dikebumikan, gagal untuk Ernest jadikan alat guna membersihkan nama Meimei yang sudah tercoreng. Dan lagi, hati nurani Ernest masih tak mampu menerima jika pada akhirnya dia tidak bisa menghukum manusia-manusia biadab yang telah merenggut Kakak Perempuannya dari keluarga kecil Ernest.

Raga melihatnya. Melihat dengan jelas bagaimana tangan Ernest yang memegang buku harian Meimei mulai bergetar seraya telapak tangannya yang bergerak mengepal. Hanya dengan melihat reaksi tersebut, pemuda bertubuh jangkung itu paham betul sebesar apa kebenciannya pada penjahat  yang akan selamanya tak dihukum tersebut.

"Meski mereka udah gak bisa dihukum lewat jeruji besi, tapi kita masih bisa kok buat efek jera untuk mereka." Suara seorang gadis cantik yang muncul bersama kehadiran Arthur sukses mengalihkan atensi Baron, Raga juga Ernest. "Kita bisa aja jahilin mereka." sambung Rucita dengan bibir ranumnya   yang mengulas sebuah senyum licik.

"Gue udah coba bujuk Cece lo buat bantu ngenalin para penjahat itu, tapi dia nolak. Katanya dia udah ikhlas kehidupannya harus berakhir dengan cara seperti itu." imbuh Arthur yang disambut decakan kecewa dari Ernest.

Supranatural High School [ End ]Where stories live. Discover now