PART 21 - Rasa tersisa

ابدأ من البداية
                                    

"Anton! Anton!" teriak Mbak Lita bingung.

Puspa memang membenci laki-laki itu, tapi membiarkan Arya kesakitan pun juga tak membuatnya merasa lebih baik. Jauh di lubuk hati Puspa yang paling dalam, dia menyayangi Arya dan tidak ingin terjadi sesuatu yang membahayakannya.

Setelah memupuk keberanian, Puspa berlari mendekat lalu mendudukan tubuhnya di samping Arya. Dengan cekatan tangan wanita itu mengambil inhaler yang ada di tas Arya, lalu menyiapkan obat yang biasanya sudah terpasang disana. Puspa mendudukan tubuh Arya, menahannya di pangkuan dan meletakan kepala Arya di bahunya. Ia membantu Arya memasukan inhaler ke mulut lalu menyemprotkan obatnya. "Tahan dulu," tutur Puspa. Wanita itu menghitung sampai sepuluh detik agar obat masuk ke dalam paru-paru. "Aku semprot lagi ya," ucap Puspa meminta persetujuan.

Arya mengangguk, tangan kirinya berada di atas tangan Puspa yang sedang menggenggam inhaler sedangkan tangan kanannya memegang kuat tangan Puspa lainnya. Puspa sering membantu Arya dulu, saat laki-laki itu mendapatkan serangan asma. Dan saat ini pun, semuanya masih tersimpan jelas di kepalanya.

"Sekali lagi," ucap Puspa dan Arya mengangguk setuju. "Tahan dulu."

Arya mengikuti setiap instruksi yang dititahkan Puspa kepadanya. Semua itu terekam dengan jelas oleh semua karyawan yang hadir termasuk Mbak Dwi dan Mbak Lita. Anton datang setelahnya dan meminta karyawan lain untuk keluar ruangan. "Sudah enakan?" tanya Puspa.

Arya menggeleng.

"Masih mau disemprot lagi?"

"Cukup," jawab Arya sambil memejamkan mata.

Mereka tidak sadar bahwa posisi mereka saat ini ... begitu dekat, intens dan intim. Arya terkapar di lantai dengan tubuh bagian atas bersandar di dada Puspa yang duduk di belakang laki-laki itu. Tangan kiri Puspa saat ini memeluk kepala Arya yang masih terpejam dan terlihat tidak nyaman. Sedangkan tangan lainnya digenggam erat tangan Arya seperti meminta kekuatan.

Puspa mengusap pipi Arya dengan lembut seperti yang ia lakukan dulu saat laki-laki itu terkena serangan asma. Biasanya hal ini bisa mengurangi kecemasan yang bisa memperparah serangan. "Masih sesak?" tanya Puspa sekali lagi.

"Sudah lumayan."

Arya membuka mata, terpaku melihat wajah Puspa yang begitu dekat di depan matanya. Jeda dibiarkan sejenak, saat Arya melihat tatapan mata Puspa yang tak menyimpan benci. Wanita itu melihat ke arah Arya dengan khawatir, —seperti dulu. Jika boleh sebentar saja Arya ingin moment ini berhenti sesaat. Dia ingin kembali merasakan rasanya jadi Arya yang (sangat) dicintai Puspa-nya.

Namun harapan Arya pupus, ketika tiba-tiba wanita itu menjauhkan tubuhnya. Puspa berdiri dan terlihat canggung menatap ke arah Mbak Lita dan laki-laki bernama Anton.

"Terima kasih, Puspa," ucap Anton.

Mbak Lita dan Puspa sendiri sedikit terkejut laki-laki itu tahu namanya.

"Yaa, terima kasih kembali. Saya senang bisa membantu Pak Arya. Saya pernah memiliki pengalaman merawat seseorang yang memiliki riwayat asma," jelasnya tidak mau terlihat khawatir dengan Arya.

"Siapa?" tanya Arya lemah. "Siapa yang memiliki riwayat asma?"

Puspa membeku, otaknya bingung menjawab pertanyaan Arya yang seharusnya mudah.

"Siapa, Puspa?" Arya menuntut.

"Seseorang yang berada di masa lalu saya."

"Apakah orang itu tak lagi penting buatmu?" tanya Arya.

"Pak Arya," panggil Anton memperingatkan. Dia tidak mau Arya kehilangan logika. Ada Lita disini yang mengenal Ivy. Tidak baik jika sampai hubungan keduanya yang sebenarnya tidak ada apa-apa, jadi diketahui orang lain.

Arya berdiri merapikan pakaiannya yang sedikit berantakan.

"Orang itu penting buat saya. Sejak dulu sampai sekarang," jawab Puspa akhirnya. Ada keinginan kuat di dalam hati Puspa untuk menanyakan alasan Arya menciumnya, alasan Arya kembali mendekat, alasan dulu dia pergi begitu saja. Banyak sekali yang ingin Puspa tanyakan kepada Arya.

"Lalu?"

"Lalu apa?" tanya Puspa.

"Lalu jika dia masih menjadi orang yang penting, kenapa sekarang tak lagi sama?"

"Laki-laki itu yang memilih pergi meninggalkan saya."

"Berikan salamku kepada orang yang memiliki takdir yang sama denganku itu. Kalau boleh aku menyarankan, beri kesempatan kepadanya untuk menjelaskan," ucap Arya kemudian berlalu pergi.

Anton mengikuti Arya dibelakangnya, sedangkan Mbak Lita lebih memilih berdiri dengan canggung di samping Puspa. "Kamu baik-baik saja?" tanya Mbak Lita.

"Saya baik."

"Puspa," panggil Mbak Lita menghentikan langkah Puspa. Ada jeda sebentar yang dibiarkan keduanya hening tanpa suara. "Seharusnya aku tidak ikut campur. Selama aku bekerja dengan Pak Arya, aku tidak pernah melihat laki-laki itu menatap seseorang dengan begitu ... dalam. Bukankah lebih baik kalian berbicara?"

Puspa tak menanggapi lalu memilih untuk meninggalkan ruangan meeting dengan perasaan tak menentu. Ia masuk ke dalam toilet yang sepi dan mendudukan tubuhnya disana. Tatapan mata Arya yang sendu, kedekatan mereka yang masih jelas terasa nyata. Puspa berusaha menetralkan perasaanya sendiri dari rasa yang tak ia pahami.

Dia membenci Arya, tetapi kenapa perasaan Arya terasa begitu nyata?

Kamu yang kusebut RUMAH (Gratis)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن