Bab 15: Bon Cabe Level 29 Vs Bon Cabe Level 30 (Revisi)

Start from the beginning
                                    

"Hehe... Sekalian, lo bawain ke rumah sakit." Kekehnya melihat raut masam di wajahku.

Aku menatapnya datar, aku sudah menduga akhirnya bakal seperti ini. Mana belanjaannya banyak banget. Setiap kali aku membawa belanjaan Raka ke Rumah Sakit pasti ada aja orang orang yang melihatku dengan aneh.

Ya iyalah, gimana nggak kelihatan aneh coba, bawa dua hingga tiga kantong plastik besar. Udah kayak orang belanja di mall, kenyataanya aku menenteng semua itu di Rumah Sakit dengan banyaknya pasien gawat darurat yang bersileweran dimana-mana.

Alasan lainnya adalah, aku sering di goda teman teman Raka. Awalnya aku biarkan saja, tapi lama lama aku jadi risih sendiri.

'Uwah... bidadari dari mana nih, kok bisa nyangkut disini.'

'Aduh mbak rere ketemu lagi, makin cantik aja mbak.'

Kadang aku mengira, apa mereka nggak pernah liat cewek sebelumnya sampai bertingkah seperti itu. Kalau mereka anak teknik yang mayoritas cowok, aku masih bisa menerima tingkah aneh bin ajaib mereka. Nah ini, mahasiswa kedokteran nggak cowok semua, juga ada ceweknya. Tapi mereka bertingkah laku seolah-olah menemukan spesies langka. Akhirnya aku bertanya pada Raka kenapa semua teman temannya melihatku seperti menemukan mata air di tengah padang pasir.

'Ya iyalah mbak. Lo nggak liat Karin sama Wida, mana sempat mereka tauch up kayak lo, pakai parfum, skincare mahal, baju bersih. Bisa keramas sekali seminggu aja syukur.'

Intinya mereka bukannya nggak pernah liat cewek, tapi semua cewek disekitar mereka sejenis semua. Dimana makan, tidur, mandi adalah kemewahan bagi mereka. Saking sibuknya. Di awal kegiatan Koasnya, aku ingat pernah memarahi Raka karena tak pernah keramas selama seminggu lebih. Aku bahkan menarik jambangnya dengan kesal saat itu.

"Ogah, lo bawa sendiri." Raka mengambil botol minuman dari tanganku dan meminumnya hingga tandas. "Sekalian mbak, lo kan juga mau bawa mama ke Rumah Sakit. Pelit amat sih," jawabnya sewot, "lagian sore ini gue harus balik ke Rumah Sakit jadi siang ini gue mau tidur sepuasnya."

Raka meremukkan botol mineral ditangannya dan melemparkannya ke dalam tong sampah.

Tuk!

Dan botoh mineral masuk tampa hambatan ke dalam tong sampah di samping kami.

"Semalam lo pulang di anter siapa?" ucap Raka menatapku curiga. "Cowok?" Raka mengubah posisinya dan duduk menyamping kearahku, meletakkan lengan kirinya di sandaran kursi membuatnya terlihat merangkulku.

"Lo mau gue jawab apa?" tanyaku pura pura misterius. Dan mengerling manja melihatnya menatapku tajam.

"Nih yah, waktu lo sampe ke apartemen, gue samar sama bisa cium aroma parfumnya. Mmm, dari aroma parfumnya sih... ini cowok kayaknya orang kaya. Setau gue parfum ini merek mahal. Gue pernah cium aroma parfum yang sama dari dokter di Rumah Sakit." Bak detektif ternama, Raka menjawab sambil mengusap dagunya yang sedikit ditumbuhi jambang halus. Dia lalu mendekat dan menatapku curiga.

"Lo nggak lagi main main sama cowok aneh kan?" tanyanya penasaran.

"Lo kayaknya perlu cukuran deh Ka, gue nggak mau liat cowok brewokan," ucapku sambil mengelus dagunya yang kasar. "Mau gue bantu cukurin?" Raka menatapku sebal karena mengalihkan topik.

"Pisau dapur baru gue asah tadi malam, gue rasa cocok buat cukur jambang lo." Dan dia langsung mengambil tanganku yang sesekali menarik rambut rambut halus di dagunya, membuatnya meringis.

"Ah.. Mbak!" Teriak Raka kesakitan. "Gue serius ini. Lo nggak lagi main main sama om om kan?" tuduhnya.

"Awas ya mbak, lo sempat gaet-gaet cowok yang umurnya udah kepala tiga gue nggak sudi punya kakak ipar om om gatel, berkepala botak, dan berperut buncit." Raka mengusap dagunya yang memerah karena ulahku.

MellifluousWhere stories live. Discover now