Penyesalan

18 1 0
                                    


Ruang kelas yang menjadi saksi bisu kegiatan belajar mengajar itu porak poranda. Meja dan kursi layaknya pasca gempa bumi yang sudah tidak karuan. Mungkin kalian bertanya, kenapa hal ini bisa terjadi? Memangnya tidak ada guru yang mengawasi?

Tentu saja mereka ada. Namun, mereka hanya terdiam dan mengamati ketika salah seorang muridnya berulah seperti itu. Ya, hanya seorang. Bukan disebabkan oleh perkelahian dua belah pihak, tapi karena satu orang.

Para guru yang memiliki tenaga lebih besar harusnya bisa menghentikan amukan dari seorang murid yang terbilang cukup kurus itu. Namun, mereka mulai mendekatinya ketika murid tersebut sudah lebih tenang. Menenangkannya, dan memberikan kata-kata pembangkit kepada murid itu.

"Kenapa kamu melakukan itu? Apakah dengan mengonsumsi obat-obatan terlarang membuat hidupmu lebih baik?"

Ia menitikkan air matanya. Jauh di dalam hatinya, ia ingin berhenti. Ia sangat ingin berhenti. Ia ingin mengembalikan kehidupan normalnya bersama teman-teman tanpa harus mengandalkan obat-obatan untuk membuatnya bahagia. Ia sendiri tidak mau menjadi sosok menyedihkan seperti ini.

Ia sudah muak, karena selalu mengantuk dan tidak pernah fokus dengan pelajaran sekolahnya.

Ia sudah muak, karena selalu mendengarkan suara-suara dan bayangan orang yang bahkan hanya ada di kepalanya saja.

Ia sudah muak dengan semua ini. Sangat muak.

"Aku merasakan bahwa ini adalah akhir dari hidupku. Aku sudah tidak sanggup dengan beban hidup yang kian hari semakin menyesakkan. Padahal, tindakanku saat itulah yang memotong jalan masa depanku. Bodoh, bukan?"

Murid itu tersenyum miris. Ia menertawakan takdirnya sendiri. Saat sahabatnya melakukan percobaan bunuh diri, ia selalu menyalahkan dirinya dan berkata bahwa itu adalah ulahnya. Namun hal itu yang mendorongnya untuk terus menyuntikkan badannya sendiri dengan obat yang membuat dirinya lebih baik.

Namun, semua itu hanya ilusi semata. Setiap tindakan pasti ada konsekuensi yang menyertai. Tidak ada obat yang lebih baik dari berdamai dengan diri sendiri. Jika ia bisa belajar untuk memaafkan dirinya sendiri, masa depan yang lebih baik mungkin akan menunggunya. Bukan lagi, kamar sepetak dengan nuansa abu-abu yang setiap hari harus ia tempati di dalam sana. Terkurung dan diawasi setiap saat.

Tidak ada yang ingin memiliki akhir yang tidak bahagia, begitu juga dengan murid itu. Namun, bubur tidak bisa kembali menjadi nasi. Tidak ada lagi tempat untuk kembali ke masa-masa menyenangkan itu. Ia harus menghadapi konsekuensi atas tindakannya sendiri.

Saat sirine mobil polisi mulai terdengar memasuki perkarangan sekolah, ia ingin sekali melarikan diri dari sini. Melarikan diri dari kenyataan menyeramkan yang akan dihadapinya. Di usia yang semuda itu, ia tidak ingin menyia-nyiakan umur panjangnya mendekam di ruangan penuh sesak itu. Ia masih ingin masuk ke universitas pilihannya dan bekerja layaknya manusia lain.

Ia tau ia tidak bisa kembali. Tindakannya itu menghancurkan hidup dan masa depannya tak bersisa. Ia sangat menyesal, karena berpikiran terlalu pendek. Menyesal, karena telah berpikiran bahwa itu adalah satu-satunya cara untuk membuat hidupnya lebih baik.

Kini, hidupnya hanya bergantung kepada obat-obatan tersebut. Ia akan merasa tidak tenang dan berhalusinasi jika tidak menyuntikkannya. Ia seolah sedang berlari di dalam lingkaran setan yang tak berujung. Semakin jauh ia berlari, semakin hancur jiwa dan raganya.

Harusnya, ia tahu seberbahaya apa resiko dari obat-obatan itu.

Harusnya, ia mendengarkan dengan baik ketika gurunya memberitahu untuk menjauhi narkoba.

Harusnya, ia tahu itu. Tapi, ia tidak mengindahkannya.

"Maruyama Shuu?"

Beberapa pria dewasa berseragam polisi lengkap mendekatinya. Ia serahkan tangannya untuk diborgol dengan pasrah. Seluruh mata menangkap peristiwa itu dengan perasaan tak percaya. Hari ini mungkin akan menjadi momen tak terlupakan bagi seluruh penghuni sekolah.

Dan tentu saja, bagi Shuu.

Entah setelah proses rehabilitasi dan penyesuaian diri nanti, masa depan seperti apa yang akan ia lewati. Ia tidak memiliki gambaran yang jelas mengenai ke depannya. Semuanya terasa abu-abu.

Tentu saja, ia tidak akan bisa berkuliah seperti orang lain. Mendapatkan kerja dengan mudah seperti orang lain. Semuanya tidak akan ia dapatkan dengan mudah layaknya orang lain.

Apakah semenyedihkan itu? Ya.

Shuu sendiri yang memulainya. Ia juga yang harus menjalani sisa hidupnya sendiri. Bukankah setiap manusia dipenuhi oleh berbagai macam pilihan dalam hidup? Ia sendiri yang memilih jalannya untuk masuk ke lingkaran setan bernama narkoba.

Jika sudah seperti ini, ia tidak bisa menyalahkan siapapun selain dirinya, karena memilih jalan yang salah. Saat sahabatnya mencoba bunuh diri, ia masih bisa membicarakan hal ini baik-baik dan mengucapkan permintaan maafnya. Ia harusnya bisa melakukan semua itu dengan kepala dingin. Namun, kenyataannya tidak begitu.

Shuu diputuskan untuk rehabilitasi dan ditahan selama satu tahun. Tentu saja, itu bukan hal yang mudah baginya. Namun, ia mulai belajar menerima konsekuensi dari tindakannya. Ia paham dan berusaha untuk tidak melakukan kesalahan yang sama lagi. Meski sulit, ia akan melalui masa rehabilitasinya dan belajar berdamai dengan dirinya sendiri.

Ia tidak ingin remaja seusianya harus melewati masa depan yang abu-abu dengan narkotika.

Ia berharap tidak ada lagi yang melakukan tindakan keji sepertinya.

Semoga saja.

.

.

.

-End

Kali ini, Bee bikin Oneshoot yang terinspirasi dari drama fav, Kinpachi Sensei S7 (2004). Hikaru kecil sebagai Maruyama Shuu disana. Waktu bikin cerita ini, kek kepikiran aja gimana perasaan Shuu waktu dia dibacain puisi sama Kinpachi Sensei /sedih 🥺🥺

Tapi, sebenernya ini naskah yang aku lombakan juga. Dengan nama tokoh yang jelas kuganti juga. Meski gak menang wkwk

Terima kasih yang udah baca dan Vote + Comment. Semoga kalian mendapatkan pelajaran yang bisa dipetik dari ceritaku hehe. Aishiteruyoo~ 🤭💛

Penyesalan.  [Oneshoot]Where stories live. Discover now