63. Ending Scene: Call Me Anything You Want

204 10 6
                                    

**

Perayaan pernikahan tampaknya selalu memberikan aura tersendiri. Selain sakral, orang-orang yang terlibat juga memanjatkan banyak doa gembira untuk kedua mempelai yang mengikat janji suci setia. Karangan bunga sudah tertata rapi sejak kemarin di berbagai sudut ruangan ini. Sebenarnya, ini ruangan untuk merias pihak keluarga. Tadi Ibuk sudah duluan, dan sekarang sudah turun ke tempat resepsi yang ada di belakang rumah. Dekorasinya lebih didominasi dengan warna putih dan biru muda. Cantik dan pilihannya sesuai dengan seleraku.

Aku menatap pantulan wajahku di cermin, lantas menarik senyum tipis. Riasan di wajahku telah rampung. Cukup manis dengan warna peach di bibir. Kebaya yang membalut tubuhku warnanya juga senada, tapi tone-nya sedikit lebih tua.

”Makasih, Mbak,” kataku mengucapkan terima kasih kepada MUA yang sudah bekerja keras. Aku bangun dari kursi yang menghadap meja rias tersebut, kemudian melangkah turun ke lantai satu. Mataku melebar saat melihat lelaki tinggi berjas hitam yang berjalan dari ujung lorong. Lelaki itu mengulurkan seikat bunga mawar putih yang dibalut rapi dengan pita warna biru muda mengkilap. “Yang lain mana, Mas?”

Lelaki itu menunjuk ke arah taman belakang. “Udah pada baris di sana. Kamu kan yang paling terakhir.”

Aku terkekeh, kemudian meraih lengan kanannya dan melingkarkan tanganku di sana. Aku berbisik di telinganya, “Heavenina aman sama Jiwaraga, kan?”

“Jiwa suka banget sama anak-anak, terus anak kita juga nempel banget sama dia,” jelasnya. Aku meringis gemas mendengar ucapannya yang terdengar cemburu. “Aku kadang heran, kayaknya Heaven malah sayang sama Jiwa bukan sama aku.”

“Dia juga sayang kamu.”

“Tapi, kalau ada Jiwa larinya ke Jiwa.”

“Nanti boboknya tetap mau dipeluk kamu, Mas.”

“Mamanya juga gitu, kan?” Dia melirik ke arahku dengan sorot genit.

Aku menyenggol perutnya dengan siku, lalu, “Mamanya juga butuh dimanja, sih. Kalau Mama happy, rumah juga happy. Hawanya juga enak. Iya, kan? Kalau aku cemberut, kamu juga biasanya ikutan pusing.”

“Kamu kalau cemberut suka bikin panik,” jawabnya, cepat. “Masih trauma gara-gara kejadian yang dulu itu. Makanya, sekarang harus happy sama aku, ya, Gizka? Kamu punya aku. Aku enggak ke mana-mana.”

Aku manggut-manggut mengerti, selalu bisa percaya pada kalimat apa pun yang lolos dari bibirnya. Lantas, kami berdua berjalan menghampiri yang lainnya. Oh ya, omong-omong, ini bukan acara pernikahanku. Sebab, aku sudah menikah setahun lalu. Aah, sudah setahun. Rasanya baru kemarin lelaki di sampingku ini mengucapkan namaku dengan lantang di hadapan penghulu. Rasanya baru kemarin, Heavenina akhirnya bisa merasakan kehadiran sosok ayah di rumah. Dan, rasanya juga masih kemarin, gadis kecilku itu menggusur tempat tidur karena selalu ingin tidur di pelukan ayahnya ini.

Aku melepaskan tanganku dari lengan suamiku, kemudian bergabung dengan baris perempuan. Di sebelahku, ada Kak Audissa yang sudah banyak berubah. Sejak melahirkan, tubuhnya mengalami kenaikan berat badan. Namun, dia tidak mempermasalahkan itu sebab Kak Putera pun juga tidak mengatakan apa pun. Hubungan keduanya membaik setelah kelahiran Violetta Seraphina Reksa--nama anak perempuan mereka yang lahir enam bulan lebih dulu daripada aku. Benar, kami sama-sama memiliki anak perempuan. Kini Violet dan Heaven menjadi pemenang di keluarga besar. Dua peri cantik itu menduduki tahta tertinggi.

“Dekornya bagus, ya?” bisik Kak Audissa yang juga memegang seikat bunga mawar putih dengan pita biru muda mengkilap. Aku mengangguk, sembari melihat-lihat ke sekeliling. Resepsi ini hanya dihadiri oleh keluarga besar dan teman terdekat saja. Lokasinya ada di Kulonprogo. Saat aku menghentikan sorot mataku ke arah Kak Audissa, dia menambahkan, “Kamu enggak apa-apa? Gimana kemarin sama Hazen?”

BUMI & EVAKUASIOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz