1 - Home

2.6K 58 1
                                    

Aku hidup di keluarga yang biasa-biasa saja. Tidak memiliki rumah besar ataupun mobil mewah. Bagi aku dan ayahku, bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa terlilit hutang sudah lebih dari cukup. Dari kecil aku hidup dengan kesederhanaan ini.

Mendiang ibuku selalu berkata, "cari istri jangan yang minta muluk-muluk. Yang penting dia mencintaimu, apapun kondisinya." Yah, itu sih ketika aku masih kecil. Dulu aku mana paham. Tapi sekarang saat aku sudah dewasa, boro-boro dapat istri yang menerima apa adanya. Pacar saja tidak punya. Tapi siang ini, ayahku menyuruhku pulang ke Jakarta untuk bertemu dengan sahabatnya sejak SMP. Entah apa urusannya dengan ku sampai aku harus terbang dari Jepang.

Oh iya, aku lupa. Namaku Vano Ezra. Sekarang aku bekerja di Jepang sebagai salah satu staff perusahaan teknologi di sana. Meskipun perusahaan itu asli Indonesia, mereka sudah membuka cabang di beberapa negara Asia, termasuk Jepang. Aku masuk ke dalam program yang baru dimulai sejak tiga tahun lalu. Yaitu mengirimkan anak-anak muda untuk mencari pengalaman lebih banyak di negara lain. Umurku saat itu masih 23 tahun sih. Masih fresh graduate. Sekarang sudah 25, nyaris 26.

"Kalo sudah sampai Jakarta, langsung ke rumah saja."

Aku membaca pesan dari ayahku semalam sebelum take-off. Pagi ini aku sudah sampai di Jakarta. Udara hangat di bulan Maret sangat berbeda dengan Jepang. Di sana masih cukup dingin karena baru memasuki musim semi.

"Vano baru mendarat di Jakarta. Sebentar lagi temen Vano jemput, nanti langsung ke rumah."

Aku membalas pesan ayahku itu sambil menunggu temanku datang. Katanya sih sudah dekat. Tapi aku sudah menunggu lebih dari setengah jam dan dia belum juga sampai.

Akhirnya aku memutuskan untuk duduk di sebuah restoran cepat saji sekalian sarapan. Jujur saja aku rindu dengan Jakarta. Sulit sekali untuk mendapat jatah cuti pulang ke Indonesia. Beberapa kali aku ajukan, jarang sekali mendapat respon positif. Ini pertama kalinya aku bisa mendapat izin semudah ini.

*Ting*

Suara notifikasi pesan masuk dari temanku akhirnya muncul.

"Gue udah sampe."

Aku langsung pergi meninggalkan cafe tempatku sarapan tadi. Dalam benakku, mobil yang temanku gunakan adalah Avanza keluaran 2010 berwarna hitam yang juga digunakan mengantarku ke sini tiga tahun lalu. Tapi sejauh mata memandang aku tidak menemukan mobil itu.

*Tinn*

Mobil yang berhenti di depan ku itu membunyikan klakson. Tak lama jendelanya terbuka.

"Van, masuk buruan!"

"Lah ini mobil lu?"

"Iye, baru ganti. Yang kemaren rusak lagi, udah gak bisa diselamatin. Eh, cepetan masuk sini!"

"Ya bukain dong bagasinya Rafli."

"Rafli jidat lo bolong? Iye iye, tuh udah."

Aku pun memasukkan koperku ke dalam bagasi. Setelahnya aku langsung masuk ke dalam mobil, duduk di depan bersama sahabatku. Kami pun beranjak pergi menuju rumah ayahku.

"Kok lu bisa pulang? Biasanya juga susah banget dapet izin?"

"Gue juga gak tau. Mau cuti sehari aja susah setengah mati. Ini izin cuti gak tau sampe kapan, malah dikasih."

"Wah, tanda-tanda mau dipecat lu."

"Jangan gitu dong... Doa lu jelek amat sih Udin?"

"Udin pala lo kotak."

Oh iya, aku lupa lagi mengenalkan sahabatku. Dia adalah Samuel. Kami sudah berteman sejak lama. Kurang lebih sejak kami bertemu di bangku SD. Lebih detailnya, aku lupa kelas berapa. Dulu kami sering sekali ribut. Tapi lama kelamaan malah menjadi sahabat yang sulit dipisahkan. Bahkan kami sering bertukar pesan selama aku di Jepang.

Fall In Love AgainWhere stories live. Discover now