Apalah Arti Sebuah Arti

19 1 0
                                    


"Abdulrahman Tri?"

"E―eh, iya, iya, saya?" Arti tergagap, mengacungkan tangan.

Seperti biasa, teman-teman sekelasnya tertawa, sementara perempuan itu tersenyum manis, memaklumi Arti yang selalu bertingkah konyol ketika ia memanggil namanya. Entah sudah berapa ratus kali kejadian ini terulang. Sekarang Arti sudah berada di penghujung kelulusan dan ia masih saja gelagapan ketika nama lengkapnya disebut oleh perempuan itu.

Amelia namanya. Perempuan yang berhasil merenggut bola mata Arti hingga tak mampu bergerak. Perempuan yang selalu membawa buku tipis yang lebar. Perempuan dengan rambut panjang yang indah. Perempuan dengan lesung pipi lucu yang selalu bertengger di wajah ketika senyum simpulnya merekah.

Arti senang mengikuti rutinitas Amelia. Setelah jam pelajaran selesai, Arti ikut keluar kelas bersama perempuan itu, mengikutinya dari belakang, melambaikan tangan dalam diam, lantas kembali menunggu kedatangan perempuan itu pada lain hari sambil sesekali tersenyum tidak jelas sendiri.

"Kamu sedang jatuh cinta?" tanya temannya.

Arti menggeleng, tidak tahu.

Arti pernah beberapa kali mencoba mendekati Amelia, tetapi gagal. Lidahnya mendadak kelu ketika melihat senyum Amelia. Sekali waktu ia berhasil melontarkan kata, tetapi respon yang diterimanya tidaklah seperti yang ia harapkan.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, Arti." Perempuan itu membalas salam, menatap Arti. Melihat seraut wajah bingung pada Arti, ia bertanya, "Kamu mau bertanya tentang soal yang tadi?"

Arti terdiam.

Amelia tersenyum manis, menunggu.

"Tidak jadi, deh." Arti berbalik, melengos meninggalkan Amelia yang masih tersenyum menatapnya. Arti memang kebingungan ketika tadi disuruh mengerjakan soal di papan tulis. Ia tahu kalau perempuan itu memang pintar dalam hal mengolah angka, tetapi bukan itu maksudnya mengajak berbincang.

Sehari sebelum ujian nasional, temannya kembali bertanya. "Kamu itu sedang jatuh cinta, kan? Sama siapa? Ayo mengaku!"

Arti mengangkat bahu, malas menanggapi. Benaknya sedang tidak ingin berkecamuk dalam badai.

"Dari kelas sepuluh, dari awal masuk SMA sampai sekarang kelas dua belas, kamu, kok, sering senyum-senyum tak jelas sendiri, sih. Di kelas juga kamu sering bertingkah laku konyol di hadapan perempuan itu. Jangan-jangan... kamu cinta perempuan itu, ya? Jangan bilang kalau kamu memang mencintai perempuan itu."

Arti tidak menjawab.

"Astaga, Arti! Kamu tidak boleh mencintai perempuan itu! Tidak ada murid laki-laki di sekolah ini yang mencintainya! Bagaimana mungkin kamu menaruh hati padanya?"

Hampir saja ia termakan ucapan temannya. Arti memilih untuk diam. Perkataan temannya tak digubrisnya. Bagaimana ia akan membalas perkataan temannya, sementara ia sendiri masih buta tentang cinta? Apa itu cinta? Bagaimana cara mencintai?

Yang Arti tahu, hatinya selalu menghangat ketika melihat senyum yang terbit di paras cantik Amelia. Maka, setelah lulus SMA pun ia menyempatkan diri untuk terus melihatnya.

Pada hari senin setiap dua minggu sekali, Arti cuti kuliah, memaksakan diri kembali ke kotanya, ke SMA tempat bahagia pernah bersemi, memarkirkan motor di depan sekolah, bersandar di gerbang, menunggu perempuan dengan senyum manis lewat sambil membawa buku tipis yang lebar.

Amelia tersenyum. Itu sudah cukup.

Sebenarnya Arti ingin sekali menyapa, berbincang barang sejenak. Namun, Arti tak mampu. Berkali-kali mencoba, kakinya lunglai. Jadilah ia hanya menonton. Akhirnya, setelah genap dua tahun melakukan rutinitas gila, setelah akhirnya Arti mengerti cinta, ia memutuskan suatu hal besar.

Arti pergi ke rumah Amelia yang sederhana. Mengetuk pintu. Menunggu. Gelisah. Barulah sepuluh menit kemudian, Amelia yang baru saja keluar dari kamar mandi membuka pintu. Amelia mempersilakan Arti masuk.

Arti duduk di kursi. Mulut Arti membuka, memulai percakapan. Mereka berbincang ringan sebelum akhirnya Arti mengutarakan maksud kedatangannya.

"Kamu serius mau menikahi saya?" pekik Amelia sambil melirik cincin berlian pemberian Arti. "Kamu bergurau, kan?"

Arti menggeleng. Ia tidak bergurau.

Amelia menatap Arti lekat. Bibir mungilnya terbuka. "Usia kita terpaut jauh. Umur saya dua puluh lima tahun, sedangkan umur kamu dua puluh tahun. Beda lima tahun."

"Memangnya salah kalau mempunyai istri yang lebih tua?"

Amelia menggeleng, rambut indah tergerainya bergoyang. Ia melempar senyum hingga lesung pipinya terbit. "Saya juga, kan, guru. Kamu murid saya."

"Memangnya salah kalau mempunyai istri yang merupakan gurunya sendiri?"

Amelia menggeleng lagi, lantas sejuru kemudian melontarkan pertanyaan yang meranggas hati Arti, menggerogoti diri. "Apakah kamu mencintaiku, Arti?"

Jiwa Arti terempas dari sadar, terbang melayang, berkelindan dalam satu pertanyaan yang sering bergaung di kepalanya.

Apa arti cinta?

Waktu kuliah, Arti sering memberikan makanan pada sepasang pengemis cacat. Suaminya buta, sedangkan istrinya tuli dan bisu. Mereka masih saling menyuapi satu sama lain meskipun takdir sudah cukup kejam mengguratkan nasib mereka.

Bagi Arti, tak penting cinta punya arti atau tidak. Cinta artinya rasa suka. Lantas, apa arti suka? Rasa nyaman? Lelaki itu menghela napas. Apalah arti sebuah arti? Hanya berupa pengertian.

Arti tahu apa itu cinta. Cinta adalah sesuatu yang dapat dirasakan oleh lima indra, sesuatu yang sarat akan lima emosi: marah, sedih, kecewa, suka, dan bahagia. Arti tahu semua itu. Lantas, apa? Ia harus bergumul dengan perasaan selama lima tahun hanya untuk mengetahui apa itu cinta?

Lantas, apa?

"Apakah kamu mencintaiku, Arti?" Amelia kembali bertanya.

Arti bangkit dari kursi, beranjak berdiri. Amelia ikut berdiri, berhadapan dengan Arti. Arti menatap manik mata Amelia yang jelita. Tangannya memegang kedua bahu Amelia.

"Sejak kecil aku tak pernah mengenal cinta," kata Arti. "Umur sepuluh hari, aku dibuang orang tuaku. Selama lebih dari tiga belas tahun aku hidup di panti asuhan yang tidak memadai sebelum akhirnya sepasang suami istri yang selalu sibuk bekerja mengadopsiku. Jika ditanya tentang cinta, aku akan selalu menjawab: aku tidak tahu."

Kerutan bingung di wajah Amelia tampak semakin kentara. Baru saja ia mau membantah ketika Arti secara tak terduga mendekapnya dalam pelukan yang hangat.

"Cinta tidak butuh ucapan, bukan? Cinta butuh pembuktian."

Arti berjanji, ia akan merasakan sendiri cinta dengan kelima indranya, merasakan kelima emosi yang berkaitan erat dengan cinta, membahagiakan Amelia.

Lamat, Amelia mengangguk. "Aku mau menikah denganmu."

JauhWhere stories live. Discover now