Menjadi Manusia

30 2 0
                                    

Benda apakah manusia itu?

Tidak, mungkin itu pertanyaan yang salah. Manusia bukanlah benda. Ada kontra afirmasi antara sifat-sifat manusia dan benda mati. Perbedaan mendasar pun sudah menimbulkan kesenjangan yang luar biasa dan secara otomatis mempertontonkan pernyataan mana yang benar. Tumbuhan juga tidak bisa disamakan dengan manusia. Manusia memiliki kemampuan berpikir dan menangkap informasi jutaan kali lebih baik dari tumbuhan. Dilihat dari kemampuan berpikir saja dapat disimpulkan bahwa orang yang menganggap tumbuhan adalah manusia, tidak lain adalah seorang idiot.

Lalu apakah manusia adalah hewan? Aku tidak tahu. Pada taraf ini, aku belum bisa menyimpulkan. Hewan juga memiliki kemampuan berpikir. Tergantung dari spesiesnya, makhluk satu ini bisa saja memiliki kemampuan mengolah otak yang mendekati manusia. Meskipun secara umum manusia masih berada di atas hewan, namun tidak bisa dipungkiri bahwa manusia pun ada yang mendekati hewan. Aku juga masih belum tahu mengapa manusia yang dipilih untuk menjaga bumi, bukan makhluk-makhluk lain dalam garis fisik horizontal atau makhluk lain lintas dimensional, yang, secara menyeluruh memiliki kemampuan sangat tinggi jika dibandingkan dengan manusia. Mungkin pertanyaan awal itu salah, aku akan merubahnya.

Entitas apakah manusia itu?

Manusia bukan benda. Manusia bukan tumbuhan. Manusia bukan hewan. Lalu jenis apakah perempuan yang sedang di depanku ini? Ia jelas bukan benda, bukan tumbuhan ataupun hewan, bukan pula manusia. Ia mungkin monster (jika monster benar-benar ada) dengan kemampuan berpikir layaknya manusia.

Selagi aku melamun memikirkan semua itu, aku melihat telapak tangan perempuan di depanku melayang dengan gerak lambat. Oh, tentu saja itu cuma bayanganku. Sebenarnya itu sangat cepat.

Plakkk!!!

"Kau selalu saja seperti itu! Kau tidak pernah mengerti aku! Aku dari dulu mendukungmu, Mas, kenapa kau menuduh yang tidak-tidak padaku atas perbuatanmu sendiri? Kau seharusnya malu!!!"

Playing Victim.

Begitulah kata anak muda zaman sekarang. Jika menurut hati, tentu saja aku ingin menangis. Bukan, bukan menangis karena bersalah. Tapi karena kata-katanya yang menyayat hati, melukai setiap rongga diri. Aku memejamkan mataku, berusaha menahan tetesan air agar tidak keluar dari kelopak mata. Begini juga aku masih suaminya, dan aku harus terlihat tegar.

Ia mengemas baju dari lemari dengan tergesa. Pandanganku menyelimuti perempuan yang aku cintai itu. Sorot mata kami menyerebak. Aku menatapnya dan ia menatapku. Dua emosi yang saling bertolak belakang bertemu di persimpangan jalan. Sorot mataku teduh dan mencari cinta yang tersisa di kedua matanya. Namun yang kudapati dari sorot mata itu hanyalah benci, benci, benci.

"Sudahlah mas, aku capek. Ini surat cerai kita." Tangannya menyodorkan sebuah amplop. Kakinya melenglang pergi, menjauh. Ia membuka pintu. "Aku tunggu di pengadilan."

Bersamaan dengan menghilangnya punggung istriku di balik pintu, air mataku mengalir. Aku tertunduk. Apakah ia manusia, Tuhan? Mengapa ada seorang manusia yang begitu jahat? Dan apakah aku manusia, Tuhan? Mengapa ada seorang manusia yang begitu rapuh?

Bersamaan dengan jam dinding yang baru berdetak beberapa detik, sekumpulan manusia berbaju taktis datang menghampiri setelah mendobrak pintu. Aku masih sempat-sempatnya berpikir kalau mereka sangatlah bodoh. Meskipun rumah ini secara resmi telah disita oleh negara, tapi tidak ada alasan bagi negara untuk memperbaiki pintu yang jebol karena perbuatan salah satu anak buahnya yang idiot. Pemimpin berbaju taktis itu (ia yang menjebol pintu) menghampiriku.

"Anda telah ditahan atas tuduhan..." bla, bla, bla, aku muak mendengarnya bicara. Lalu ia mengakhiri dengan, "Mohon ikut kami!"

Aku menengadahkan wajahku yang basah, lalu mengulurkan kedua tanganku yang langsung diborgol.




JauhWhere stories live. Discover now