Dua Insan Manusia

22 2 0
                                    


Tersebutlah dua insan manusia. Yang satu dari kota, yang satu dari desa. Nun dekat di nadi, yang di kota bekerja sehari-hari. Nun jauh di peluh, yang di desa belajar tanpa keluh.

Tersebutlah pemuda dari kota yang tentram nan damai. Pemuda yang lurus dan tidak menyimpang. Bekerja gigih sehari-hari, demi menafkahi diri, dan menabung untuk hari nanti. Dan tersebutlah gadis dari desa yang asri nan berbudi. Gadis yang patuh orang tua dan tidak menyeleweng. Belajar memasak, menanak, dan mengaji agar berakhlak.

Jarak mereka tidak dekat, tapi sesungguhnya mereka rekat.

Sering sang pemuda berkunjung, melihat desa, menggantungkan asa. Lantas sang gadis menerima, mengambil asa dari pemuda, dan berkecambahlah hatinya. Setiap sang pemuda berkunjung lalu, sang gadis tersipu malu. Sudah saling tertaut, kedua orang tua mereka berdua tak tahu-menahu. Orang tua mereka hanya tahu mereka berkerabat, dan takdir menuliskan bahwa mereka tak boleh dekat.

Lebaran demi lebaran terlalui. Pertanyaan kapan kawin sudah sering terlontari. Tapi selalu, sang pemuda menjawab, nanti dulu. Sang gadis pula menjawab seperti itu. Tak beda, bagai pinang belah dua. Dan, alamak, semakin rumit kisah ini bergulir, semakin terasa kejam guratan takdir.

Sang pemuda akhirnya memutuskan berkelana. Mencari jawaban, mencari kepastian. Pengetahuannya akan rasa tahu, dirasa tak ada apa-apa dan kosong ilmu. Namun setelah pengembaraan yang jauh, ia mendapati bahwa perasaannya ternyata tidak menyalahi agama. Kendatipun untuk mencapai sebuah konklusi, tak sedikit ia korbankan materi.

Sang gadis masih terus menunggu. Sudah beberapa lebaran sang pemuda tak pernah berkunjung ke desa, sibuk mencari jawaban di negeri antah berantah. Namun hati sang gadis tetap teguh, seteguh karang yang selalu tegak berdiri meskipun diamuk laut. Sudah beberapa lebaran pula orang tuanya tak sabaran, menuntut agar segera menentukan pilihan dan melaksanakan hajatan.

Tapi sang gadis tetap menunggu. Sabar. Layaknya Siti Hawa yang menunggu Nabi Adam selama 500 tahun.

Dan ketika Syawal menyambangi, genap satu tahun terlewati. Sang pemuda yang ditunggu-tunggu sang gadis akhirnya pulang ke peraduan. Pemuda yang dulu hanya menjalani hidup dan bekerja asal bisa makan, kini telah tumbuh menjadi pemuda yang sudah banyak makan asam garam kehidupan. Sang pemuda semakin gagah. Usianya sangat matang. Pikirannya cemerlang. Ilmunya kini nian banyak tak terkira, tak terhitung, dan tak tertakar. Ia pulang dengan satu misi: memboyong pujaan hatinya menuju pelaminan.

Namun asa yang dititip oleh pemuda, di rawat oleh sang gadis, kini pecah berantakan hanya dengan satu kata.

"Tidak."

Kecewa, sungguh, pemuda kecewa. Marah, sungguh, pemuda sangat marah. Derana pun tak ada dalam dada. Kelindan emosi tumpah ruah dalam elegi yang dinyanyikan dersik angin kenestapaan. Rasa yang berharap pada gempita kini berganti gundah gulana. Seberapa banyak pemuda mejelaskan, sebanyak itu pula ia dipatahkan.

"Tidak. Sekali-kali, tidak. Sesungguhnya, sebesar apapun cintamu kepadanya, sebanyak apapun ilmu yang kau miliki, kami tak akan merestui. Desa ini tak akui. Doamu yang lewati langit pun tak akan dikabuli. Sekarang, pergi. Pergi yang jauh. Hingga kau sudah beristri, dan anakku sudah bersuami, maka tak ada lagi pertemuan. Tak ada lagi kunjungan setiap lebaran. Tak ada lagi perjamuan. Pergi."

Wahai. Sungguh kejam sekali. Apakah cinta termasuk kesalahan? Apakah mencintai merupakan sebuah larangan? Apakah rasa ingin memiliki termasuk sebuah pantangan? Kejam sekali, sungguh kejam. Sang pemuda hanya menuntut cinta. Berusaha menikahi gadis yang meskipun nasab mereka bertemu di pohon keturunan, itu pun jauh di nenek buyut mereka. Mereka sepupu jauh, tak ada salahnya jika saling cinta dan mencintai. Tapi mengapa dunia tak berkenan?

Pada akhirnya, pemuda yang lurus, tidak menyimpang dari agama, tidak bisa berbuat apa-apa. Melihat wajah pujaan hatinya pun ia tak kuasa. Bahkan tak pernah tersirat sedikitpun di benaknya untuk memboyong kabur sang gadis untuk kawin lari, karena itu menyalahi agama. Dan pemuda yang lurus, tak pernah sedikitpun menyimpang dari agama.

Sang gadis yang taat kepada orang tua pun tidak bisa berbuat apa-apa. Mengharap sang pemuda mendatanginya pun ia tak kuasa. Bahkan tak pernah tersirat sedikitpun di benaknya untuk kabur dari desa, karena itu menyalahi perintah orang tuanya. Dan gadis yang taat kepada orang tua, tak pernah sedikitpun membangkang pada keduanya.

Sampai maut menghampiri keduanya, mereka tak pernah menikah. Setia dengan perasaan yang bersemayam dalam dada. Tersenyum ketika maut menjemput. Karena mereka tahu, dunia ibarat borgol yang mengikat, dan kematian membebaskan mereka dari ikatan tersebut.

Maka, sebagaimana lazimnya sebuah kisah, pasti mempunyai sebuah akhir. Kekuatan cinta sejati yang tidak pernah menghkhianati, akan saling dipertemukan kembali oleh Sang Ilahi. Mereka dipertemukan kembali di surga-Nya. Dan mereka hidup bersama dalam kebahagiaan selamanya.

Demikianlah kisah dua insan manusia, pemuda yang lurus, Hanif, dan gadis yang taat kepada kedua orang tuanya, Adiba.

JauhWhere stories live. Discover now