40: Bertukar Pandang Dalam Debaran Dada

337 124 17
                                    

Baru kali ini Nadia merasa kemampuan fisik yang dia banggakan ternyata tidak apa-apanya. Ini lebih parah daripada menjelajahi goa Jepang atau lomba lari. Napas Nadia tercekat, sementara paru-parunya terasa seperti mau pecah. Kakinya kram dan menolak untuk melangkah lebih jauh.

"Tu-tunggu ...," ucap Nadia ketika mereka sudah berlari kurang lebih satu jam. Dia berhenti dan berpegangan pada batang pohon terdekat. Keringat mengalir deras dari seluruh pori-pori tubuhnya.

Sudarsana mendengar permintaan Nadia dan menghentikan langkah. Mata hitamnya melihat Nadia yang sedang menegak habis air sebotol untuk mengganti cairan tubuh yang keluar. Bajunya basah karena keringat. Rambutnya lepek.

"Gila ...," gumamnya sambil mengumpulkan napas.

"Sebagai rakyat biasa, kamu lumayan," puji Sudarsono sambil tersenyum tipis. Wajah tegasnya dipenuhi ekspresi kagum.

Nadia hanya menggeleng menolak pujian itu. Bagaimana pun dia masih lemah. Walau sebenarnya dirinya lebih ke sprinter daripada pelari jarak jauh, Nadia selalu bangga dengan kekuatan tubuhnya. Bahkan para pria akan mengalami kesulitan menghadapinya. Namun, kali ini dia benar-benar dipermalukan.

"Kasih aku waktu lima ... sepuluh menit." Tubuh Nadia merosot dan akhirnya duduk di rerumputan. Napasnya pendek-pendek berusaha memompa oksigen lebih banyak ke paru-paru.

Sudarsono mengangguk sebelum matanya awas memandang sekeliling. Untuk sesaat dia menajamkan inderanya untuk memeriksa keadaan sekitar. Suara angin, gemerisik dedaunan, celoteh burung, dan suara langkah samar. Pria itu memberi kode pada Nadia untuk lebih tenang yang ditanggapi sigap oleh gadis itu. Nadia segera memperbaiki posisi duduknya tanpa suara menjadi lebih siaga. Walau napasnya masih terengah, dia menahan diri agar tidak menimbulkan suara.

Keadaan hening selama beberapa saat. Sudarsono dapat mendengar langkah kaki samar itu menghilang dan hutan pun kembali sunyi. Sinar matahari menembus dedaunan memberikan penerangan yang cukup untuk melihat sekeliling.

"Ini adalah wilayah yang belum kami jelajahi karena pasukan Kepiting milik Dukun Kepiting banyak berkeliaran. Bagaimana kamu bisa tahu Penunggu Gunung di sekitar sini?"

"Salah seorang makhluk dalam legenda yang kutemui merasakan ada kekuatan besar di sekitar sini. Karena Dukun Kepiting mungkin berada di dalam gunung, aku menduga kekuatan itu adalah sang Penunggu." Napas Nadia lebih tenang. Dia mengelap keringat dengan punggung tangan. Kemudian, dia bangkit berdiri. "Aku sudah tidak apa-apa. Kita harus segera menemukan sang Penunggu sebelum Dukun Kepiting menjalankan rencananya."

Pria berusia tiga puluhan itu mengangguk dan kembali berjalan. Kali ini lebih pelan karena sambil memperhatikan keadaan, mencari petunjuk keberadaan sang Penunggu sekaligus waspada dengan keberadaan pasukan Kepiting.

Setelah melangkah beberapa menit tanpa ada gangguan, Sudasono tiba-tiba menghela napas. "Padahal dulu Dukun Kepiting bukan orang yang seperti ini. Tamak iya, tapi tidak gila dan mengharapkan kehancuran."

Nadia menoleh tapi tidak menjawab. Dia menunggu pria itu melanjutkan ceritanya. Ini persis tanda-tanda kalau temannya mau curhat panjang lebar. Nadia sebenarnya tidak terlalu peduli dengan masa lalu si dukun, tapi mungkin saja dia bisa menemukan petunjuk dari cerita Sudarsono.

"Dia adalah seseorang yang dihormati karena kesaktiannya, bahkan Ratu Krakata pun memberikannya tanah. Hidupnya bagaikan bangsawan dengan menarik uang setiap orang membutuhkan bantuannya. Namun suatu ketika, anaknya jatuh cinta dengan Pangeran Krakata, putra mahkota dari Ratu. Sayangnya, Pangeran tidak menyukai sifat sang gadis dan Ratu pun keberatan menjadi besan dari Dukun Kepiting. Beliau mempertimbangkan kemungkinan Dukun Kepiting menyalahgunakan kekuasaan yang akan dia dapat ketika menjadi besan penguasa tertinggi di Kerajaan Krakata."

[END] Nadia dan Sangkuriang - Twisted Indonesian FolktalesOnde as histórias ganham vida. Descobre agora