12. Felix = Sun

527 78 13
                                    


Minho memijat pangkal hidungnya. Mereka—ayah dan anak—membisu setelah sepuluh menit memasuki kamar Minho. Hyunjin menunduk dalam, bukan kali pertama mendapati Minho marah, tapi bukan hal biasa juga. Dia selalu takut pada sang ayah—jikalau dalam mode ayah. Sesungguhnya, pemuda tiga puluhan tahun itu jarang sekali berada dalam mode ayah.

"Rhino." Hyunjin akhirnya buka suara. Masih berdiri saat Minho sudah menyamankan diri dengan duduk di sofa krem kamarnya yang empuk. Hyunjin—remaja pirang—menunduk dalam. "Aku salah apa?"

Minho tahu sekali bagaimana cara Hyunjin yang terburu-buru dalam melakukan sex. Dia orang yang mengajak Hyunjin menonton film porno pertama di usia tiga belas. Jelas,
Selera sex Hyunjin—jikalau ada yang aneh—harus dia yang terlebih dahulu mengetahui. Dengan bimbingan langsung dari orang tua, Minho tahu sekali gejolak darah muda Hyunjin yang susah dibilang pelan kalau sudah high—mirip dirinya.

"Tidak, ini salahku." Ya, salah Minho karena tak tahu anaknya akan jadi gay. Mereka hanya menonton film straight dan Hyunjin mendapatkan petuah berupa menggunakan kondom saat melakukannya. Kalau tak tahu di mana belinya, tanya saja pada Seungmin. Minho memang se-liberal itu.

Minho menepuk sisi sofa di sebelahnya. "Duduk di sini!" Nadanya lembut, tapi tegas penuh perintah. Hyunjin menurut.

"Kau baru saja melukai Felix." Hyunjin rasanya hampir menangis. Dia tak punya maksud melukai kekasih beberapa jamnya itu. Dia suka pada Felix sampai ke sum-sum tulang belakang, bagaimana mungkin dia lukai sang professor. "Salah Felix juga yang tak menuntunmu."

Hyunjin pikir, Minho akan memarahinya karena tidak pakai pengaman saat bercinta. Hyunjin juga pikir, kalau Minho tak suka dengan hubungan sex antara dia dan Felix. Dia sudah siap memberontak kalau-kalau Minho melarang hubungannya dengan Felix. Perang juga bolehlah, Hyunjin ladeni. Kali ini dia tak akan mau dibawa pindah lagi.

"Di-dia bilang tidak apa-apa." Minho mengangguk paham, dia usap bahu Hyunjin dan menepuk nepuknya pelan. Minho juga tahu sifat Felix yang ini. Terlalu penurut, jadinya tak paham maunya apa.

"Lain kali, kalau ingin 'main' lagi dengan Felix, harus pakai ini." Minho menunjukkan beberapa produk di ponselnya. Hyunjin mendengarkan dengan seksama.

"Pakainya bagaimana?"

"Dilumuri di lubangnya dan alatmu." Hyunjin mengangguk-angguk paham.

"Dapatinnya?"

"Minta Seungmin, biar dia yang beli."

Lantas, Seungmin yang baru saja membawa dokter memeriksa Felix bersin. Si dokter menawarkan pemeriksaan juga padanya.

"Tidak usah, mungkin induk setan dan anaknya sedang membicarakanku."

=========================

Jendela kamar Hyunjin sudah dibuka, sinar mentari menyeruak masuk melalui gorden yang dibuka maid rumahnya. Ini rutinitas, para pekerja akan memulai dengan memastikan majikannya bangun di hari bukan weekend. Kebanyakan maid yang bertugas pun berwajah bule—bawaan dari New York—Hyunjin dan Minho tak pernah nyaman dengan orang baru.

Kepala pelayan rumah sedikit terkejut melihat lelaki yang tertidur di samping Hyunjin. Si pemilik freckles cantik bak konstelasi bintang itu mengerjap-ngerjap. Si kepala pelayan dan seorang maid buru-buru menunduk sopan. "Selamat pagi, anda adalah—"

Felix jadi malu, meski dia berpakaian lengkap. Lengan Hyunjin yang memeluknya sedikit di geser. "Selamat pagi."

"Dia kekasihnya Sam." Felix jadi tak perlu repot-repot menjelaskan fakta memalukan tentang orang sedewasa dirinya dipeluk oleh remaja belum cukup umur. Terimakasih pada Seungmin yang muncul tepat waktu dengan setelan formal. Dia sepertinya sudah siap pergi bekerja.

Hello, Professor! [END]Where stories live. Discover now