Si sulung Afton itu mengerucutkan bibirnya sebentar. "Hei ... kau tahu," dia berkata kemudian, suaranya pelan.

"Tidak, aku tak tahu."

"Oh my fuck God just shut up until I finish my sentence." Michael menggertakkan giginya kesal, memijit pangkal hidungnya lelah. "Aku baru sadar kalau kau bersikap menyebalkan karena kau perhatian padaku." Michael mengangguk-anggukkan kepala seolah ucapannya benar. "Kau membantuku dengan masalah Alice dan Mark."

"... Hah? Jangan ngadi-ngadi. Aku melakukan itu untuk diriku sendiri karena kau satu-satunya wadahku dan aku tak mau wadahku rusak." Ennard terdengar tersinggung, benar-benar tersinggung.

Michael mendengkus. "Oh diamlah," ujarnya. "Aku sedang berterima kasih padamu dengan tulus, jika kau tidak melakukan itu, entah apa yang akan terjadi padaku nantinya." Michael menggendikkan bahunya. "Karena itu, terima kasih." Senyum Michael terukir di parasnya dengan lebar dan sungguh-sungguh. "Kau tidak seburuk yang aku kira."

Tidak ada jawaban sama sekali selama beberapa menit, toh Michael tidak mengharapkan balasan dari Ennard sebenarnya.

"Aku tak mengerti."

"Apa?" tanya balik Michael dengan bingung.

"Bersiap-siap."

Dahi Michael mengerut. "Apa maksudmu—"

BRAK!

Michael terlonjak kaget dari kursi begitu pintu depan rumahnya dibuka begitu kencang, dia segera memandang ke arah orang yang baru saja membanting pintu—mata Michael membulat; Mark. Mark berdiri di tengah pintu dengan napas terengah, membuat Michael bergidik, kemudian Mark tersenyum miring. Michael melangkah mundur saat Mark mulai berjalan ke arahnya, dia was-was—Mark bisa saja melakukan hal di luar dugaan.

"Apa yang kau mau?" Michael bisa mendengar suaranya sendiri bergetar ketika bertanya.

"Simpel," balas Mark tenang. "Jawaban."

Tentu, Michael tahu maksud Mark. "Aku takkan memberikanmu jawaban yang kau inginkan," Michel berujar, berusaha untuk tidak gentar. "Baik kau teman dekatku atau bukan, aku tidak akan memberitahu hal yang aku tak mau orang lain tahu. Tolong mengerti lah."

Mark membuang napas. "Michael, Michael," dia berkata dengan nada putus asa sembari menggeleng. "Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi padamu, agar aku bisa membantumu. Bukankah aku mengatakan itu lusa lalu? Aku peduli padamu, Mike," ujar Mark agak memelas, Michael tercekat ketika punggungnya menabrak dinding dan Mark kian mendekat.

"Tidak ...."

"Tidak?" Mark mengulang ucapannya, sebelah alis tertarik ke atas. "Tapi ... kau tampak menderita, Michael. Aku hanya ingin membantumu untuk meringankan beban itu." Alis Mark saling bertautan, pandangan matanya menunjukkan dia kecewa.

Michael memalingkan kepala ketika tangan Mark menyentuh sisi wajahnya. "Mark, hentikan," Michael berujar lirih.

"Aku tahu, kau tertekan," balas Mark pelan, senyumnya nampak lembut seraya dia menatap Michael. "Aku tahu apa yang kau rasakan, kau merasa tak bisa memercayai orang lain lagi setelah insiden tersebut, karena itu lah kau menyembunyikannya dariku. Ketahuilah, niatku benar-benar baik, Michael. Aku ingin membantumu, tapi aku tak bisa melakukannya jika kau tak memberitahuku."

Dahi Michael mengerut. "Kau tak tahu apa yang aku rasakan," dia membalas, bibirnya bergetar. "Memaksaku takkan membuahkan hasil, aku takkan pernah memberitahumu. Pahami itu."

Mark tertawa. "Baiklah mungkin aku tidak terlalu tahu dengan apa yang kau rasakan, tapi intinya bukan itu." Mark membelai pipi Michael pelan, Michael masih mencoba menghindari kontak fisik itu dengan kembali memalingkan wajah ke arah lain. "Tapi kelihatannya memang berat untuk memikul semua beban, bukankah begitu, Terrance?"

Mata ungu Michael bergulir dengan cepat ke arah lelaki di hadapannya, bibirnya sedikit terbuka dan dia bergeming. "Apa kau ... baru saja menghinaku?" Michael bertanya dengan ekspresi kosong, namun nada suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.

"Tidak?" Mark menjawab tak mengerti—lebih tepatnya pura-pura, Michael menyadari itu. "Aku tak menghinamu, Terrance? Tapi bukankah berat menanggung semua beban itu? Beban dari insiden yang kau buat sendiri."

Mark terhempas ke belakang seketika, Michael mengepalkan tangannya kuat-kuat dan giginya bergemelatuk. "Itu adalah kecelakaan tak disengaja," jawabnya parau.

"Tidak disengaja? Rencana memasukkan kepalanya ke dalam mulut robot itu berawal darimu, kau mengusulkan ide itu!"

"Aku—aku tak tahu itu akan berakhir—berakhir seperti itu!" Michael berseru frustrasi.

"Itu tak mengubah fakta bahwa kau yang merencanakan semuanya!" ujar Mark marah, dia melangkah maju untuk menarik kerah Michael kuat-kuat. "Kau adalah perintis ide tersebut, kau yang menyebabkan semua itu, kami bersedia untuk berada di sisimu setelah insiden mengerikan tersebut tapi kau meninggalkan kami! Kau memutuskan untuk tak lagi berbicara pada kami, dan kau pikir aku dapat menerimanya begitu saja? Pikirkan kembali, Terrance!"

Perkataan Mark membuat dirinya mual, pusing mulai datang. Michael merasa kehilangan pijakan, penglihatannya mengabur oleh air mata. "Aku ... aku hanya ... merasa bersalah ...."

"Sudah seharusnya seperti itu!" Mark berteriak penuh amarah, Mark mendorongnya hingga jatuh terduduk ke lantai kayu hanya untuk kembali mencengkram kerahnya lagi. "Sudah seharusnya begitu ... kau harusnya memikirkan lagi bahwa apa yang kau perbuat tidak bisa dimaafkan, Terrance. Tidak bisa." Suara Mark kian memelan seiring dia menunduk, Michael menahan mati-matian buliran air mata agar tidak tumpah. Kemudian Mark mengangkat wajah, memandangnya tepat di mata. "Kau membunuhnya."

Michael menggeleng pelan, putus asa. "Aku tidak pernah ingin ... aku tidak—"

"Kau membunuhnya!" Seruan Mark memotong ucapan Michael, Mark menggertakkan giginya. "Jangan menyangkal itu! Apapun alasanmu, kau telah membunuh Evan ... dan seberapa banyak kau menyesal, Evan takkan kembali. Itu adalah kesalahanmu, Terrance."

"Tidak ...." Michael menggigit bibir bawahnya hingga berdarah, seiring dia menutup kedua telinganya erat-erat air mata tak lagi bisa dibendung dan akhirnya mengalir jatuh. "Aku tidak—kumohon berhenti ...."

Mark merapatkan garis bibir, dia memegang pundak Michael dengan hati-hati. "Tapi aku yakin, Evan juga takkan mau melihat kakaknya menderita sendirian," Mark berkata pelan. "Karena itu, aku di sini untukmu ..."

Ucapan Mark terhenti begitu Michael tiba-tiba memegang lengannya erat—dia bahkan meringis sakit merasakan betapa kuat cengkraman lelaki berambut cokelat itu. Mark terperangah sebuah kabel melilit lengannya secara perlahan, kabel yang berasal dari belakang tubuh Michael, kemudian muncul kabel-kabel lain. Namun, kepanikannya tergantikan oleh rasa terkejut saat Michael mengangkat kepalanya dengan cairan hitam, yang dia kira air mata, mengalir dari ujung mata. Mata biru robotik itu terlihat dingin.

Mark sama sekali tidak sempat bereaksi ketika tubuhnya dihempaskan ke dinding begitu saja dengan mudah, suara retakan terdengar. Rasa sakit menjalar pada punggungnya. Mark menggertakkan gigi menahan nyeri tersebut sembari mencoba bangun, sebelum dia terkesiap ketika Michael menekan kakinya di kepala hingga dia kembali terbaring dengan debaman kecil. Mark merasa pusing.

"M-Michael—" Mark hampir tak bisa berbicara lantaran seberapa kuat Michael menginjaknya hingga setengah wajahnya benar-benar menempel pada lantai kayu. Mark hanya dapat melihat mata biru menyala itu meliriknya tanpa menurunkan dagu sama sekali.

"Kau tak berhak memanggil namanya."

Mark terhenyak; ini bukan suara Michael.

"Sampah menjijikkan."

Mark tidak tahu apa yang terjadi setelah itu, pandangannya menggelap total sebelum dia kehilangan kesadaran.

The BondWhere stories live. Discover now