Bab 03 - Rupanya Dia

Start from the beginning
                                    

—————

Setelah lamaran singkat hari itu, pihak keluarga memutuskan untuk mempercepat hari pernikahan saya. Katanya, niat baik harus disegerakan. Itu artinya saya akan segera melepas masa lajang. Saya akan mempersunting seorang wanita untuk menjadi permaisuri dan menduduki singgah sana di samping saya. Kami akan beriringan, bergandeng tangan menggapai rida Illahi. Namun, yang menjadi pertanyaan apa bisa?

Hari ini kami akan melakukan fitting gaun pernikahan. Tentu tidak hanya berdua, ada Mama dan juga calon mertua saya, Bu Ratna. Ya Allah, jika memang saya harus melepas masa lajang ini tidak dengan Eila, saya ikhlas.

Tidak ada percakapan romantis seperti calon pengantin pada umumnya, setelah mencoba beberapa gaun, kami melepasnya kembali dan pergi mencari gedung yang cocok untuk suasana pernikahan indoor. Selama perjalanan hanya ada kerusuhan Bu Ratna yang nampaknya menjadi orang paling antusias di sini, sesekali saya juga meladeninya agar tak sampai tersinggung.

Rasanya memang ingin berandai-andai. Jika saja agama saya tidak melarang itu, mungkin saat ini yang keluar di mulut hanya andai, andai, dan andai. Andai saya tidak menabrak Bu Ratna hari itu, misalnya.

“Ini gedungnya bagus. Di depan ada taman, bisa untuk area smooking, atau justru kalau ada yang bosen di dalam, mereka bisa keluar refresh pikiran,” kata Bu Ratna. Sorot matanya mengedar menikmati suasana gedung yang sepertinya akan menjadi kesepakatan.

“Bu, ini kan pernikahan Yolan dan Hanif—”

“Mas Hanif, Yolan,” koreksi ibunya saat perempuan yang akan menjadi calon istri saya memanggil tanpa embel-embel mas, meskipun sedikit geli mengingat umur kami sama, tapi apa boleh buat?

“Iya, ini kan pernikahan Yolan sama Mas Hanif biar kita aja yang nentuin konsepnya gimana. Kasih kesempatan juga buat Mas Hanif milih, Bu,” kata Yolanda seperti tak enak pada saya. Padahal saya tidak merasa keberatan sama sekali. Mau konsep seperti apa, saya ikut saja. Selama tidak melanggar syariat.

Lho, ya nggak papa Ibu ikut campur. Kalau Ibu sama Mama mertua kamu pasrahin semuanya ke kalian ya bisa hancur konsepnya. Makanya Ibu pilihin, biar nanti pas udah saling cinta terus flashback hari pernikahan kalian nggak sedih-sedih banget.” Bu Ratna berkata demikian karena beliau tahu jika pernikahan ini atas dasar tanggung jawab saya kepada beliau, bukan semata-mata mencintai putrinya.

Saya melihat Mama mengelus lengan Yolanda menenangkan. Beliau juga sempat mencubit gemas pipi perempuan itu. “Udah nggak apa-apa. Pasrahin semua ke orang tua. Biar nggak kecewa. Benar kata Ibu kamu, kalau menyesuaikan sama konsep kalian ya nggak jadi-jadi nikahnya. Percaya sama Mama dan Ibu, ya?”

Lagi-lagi saya merasa aneh saat Mama memanggil dirinya mama di hadapan perempuan yang akan menyandang status sebagai calon istri ini. Rasanya seperti masih asing. Saya berdoa semoga istilah asing dalam satu atap tidak terjadi dalam kehidupan pernikahan kami.

Mama dan Bu Ratna mulai berjalan mengelilingi area gedung dan meninggalkan saya dengan Yolanda dalam kecanggunggan. Kami tidak sendiri, masih ada dua pegawai yang berada tak jauh dari tempat kami.

Em, Mas.”

Saya mendengar suara itu ragu-ragu. Sejak lamaran singkat hari itu, kami tidak membicarakan apa-apa memang. Mungkin Yolanda baru akan membicarakannya sekarang.

“Maaf kalau Ibu aku jadi seenaknya gini. Aku juga nggak tau kenapa beliau bisa minta bentuk tanggung jawab kayak gini. Aku ....”

Belum selesai melanjutkan bicara, saya langsung menyela tak ingin mendengar permintaan maaf yang sama sekali bukan kesalahannya. “Saya nggak papa. Ini takdir,” ucap saya sekenanya.

Seberusaha apa untuk bersikap biasa-biasa saja kepada Yolanda, hati saya ternyata masih enggan untuk melakukannya. Semua masih terasa sangat kaku.

“Kita bisa buat kesepakatan pernikahan kalau Mas mau,” katanya. Saya menoleh seketika. Kesepakatan? Astaghfirullah, di zaman seperti ini dia masih menganut rangkaian cerita fiksi dari makhluk fana.

“Tidak ada kesepakatan pernikahan. Saya ingin pernikahan ini menjadi ta’aruf seumur hidup. Tegur saya jika saya ada salah, saya pun akan begitu ke kamu. Kita sama-sama saling menjalankan kewajiban dan hak,” kata saya. Tanpa memandang ke arah perempuan itu, saya kembali berkata, “Saya paham, mencintaimu akan menghadirkan sebuah resiko yang berat, bahkan, kecil untuk saya bisa melewatinya, tapi saya akan berusaha untuk itu. Tolong percaya.”

•••••

To be continued.

Masih ada yang nggak rela kalau Hanif bakal mau nikah? Hihi, sama :)

All rights reserved. Tag my wattpad account if you want to share anything about this stories.

Indonesia, 18 Juli 2022 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 18, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Menolak Move On [Hiatus]Where stories live. Discover now