Bab 01 - Insiden

33 7 0
                                    

Indeed Allah is the best of planners.

•••••

Sebagai seseorang yang mengabdi untuk masyarakat dengan menstransformasikan ilmu pendidikan, teknologi, dan seni melalui pendidikan kerap kali dituntut untuk sempurna. Padahal saya juga manusia biasa. Pernah membuat kesalahan. Terlebih pernah menjadi orang yang menyakiti seorang perempuan hingga rasa bersalah itu membekas sampai saat ini.

Namun, hari ini masalah besar menimpa saya. Bukan hanya raga, tapi pikiran saya juga ditabrak hingga buyar tak menemukan titik terang. Saya sudah berjanji tidak akan menikah jika kisah masa lalu saya belum usai, tapi hari ini seorang ibu yang tak sengaja saya tabrak meminta pertanggung jawaban dengan menikahi anak gadisnya. Sebuah permintaan yang sangat konyol.

Ini bukan kisah Tsabit bin Marzaban yang terpaksa menikahi anak seorang pemilik kebun buah hanya untuk mendapatkan rida dari pemilik kebun tersebut karena apelnya sudah ia makan saat merasa kelaparan di jalan.

"Bu, saya akan bayar semua biaya perawatan dan pengobatan Ibu sampai sembuh, saya bisa pastikan bertanggung jawab untuk itu," kata saya berusaha meyakinkannya. Saya tidak bisa mempermainkan pernikahan. Saya takut akan ada satu perempuan lagi yang kecewa karena saya. Saya takut. Jejak sosok masa lalu saja belum saya temukan, bagaimana bisa saya memulai hidup dengan menikah jika dulu saya telah menorehkan luka pada seseorang.

"Saya nggak butuh uang, Mas. Masnya pingin dapat maaf dari saya, 'kan?"

Saya mengusap wajah kasar. "Iya, saya memang pingin, tapi tidak dengan ini. Pernikahan tidak bisa dipermainkan, Bu. Saya tidak mau pernikahan saya akan berakhir di persidangan."

"Masnya sudah menikah?" tanyanya. Saya menggeleng. "Nikahi anak saya. Saya bisa pastikan tidak akan membiarkan perceraian di antara kalian terjadi."

Harus apa saya?

Lagi-lagi saya hanya bisa mengusap wajah kasar. Tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan untuk meyakinkan ibu ini. Jika saja saya berhati-hati dan tetap menerapkan protokol keselamatan, mungkin saya tidak akan mengalami ini. Saya terlalu awur-awuran saat menyetir tadi pagi karena takut terlambat dan takut wibawa saya sebagai seorang dosen turun, tapi bukan semakin tepat waktu. Saya malah berada di titik seperti ini, lebih pentingnya lagi, meskipun saya sudah menambah kecepatan, saya tetap terlambat dan ini sangat jauh dari ekspektasi awal.

"Bu, saya mohon maaf. Pernikahan itu bukan seperti games, kalau kita bosan bisa kita berhenti begitu saja. Ini masalah serius. Saya tidak mungkin menikahi seorang wanita hanya berdasarkan tanggung jawab saya kepada ibunya. Bagaimana dengan anak ibu? Dia tidak mengenal kepribadian saya, bahkan saya sendiri tidak kenal."

Wanita di hadapan saya tersenyum. "Saya yakin kamu pasti mengenalnya."

Saya mengerutkan dahi. "Maksudnya?" tanya saya.

"Saya bercanda." Beliau kemudian menangkupkan kedua tangannya. Saya juga ikut menangkupkan kedua tangan saya. "Nama saya Ratna. Masnya?"

"Hanif."

Bu Ratna mengangguk-anggukkan kepalanya. "Hanif, kamu hanya memiliki satu pilihan. Saya tidak rida dengan kecerobohan yang kamu lakukan, jika kamu tidak mau menikahi putri saya. Di luar dari ini tidak ada lagi pilihan."

"Oke. Saya mau." Saya menyerah.

"Mau apa?" tanyanya yang membuat saya mengulangi kalimat yang sama.

"Saya mau menikahi anak Ibu."

Ya. Saya menyerah. Tantangan pada diri saya mungkin akan berakhir dalam waktu dekat. Saya tidak punya pilihan selain menikahi 'ia' yang tidak saya kenal, ini lebih baik daripada harus menerima kenyataan bahwa ada satu orang yang tidak mau memaafkan saya atas semua kelalaian yang tidak sengaja saya lakukan.

Menolak Move On [Hiatus]Where stories live. Discover now