Babak 18 Gemintang

1.9K 304 29
                                    

Sebelum berangkat bekerja, kebiasaanku adalah mematut badan di depan kaca lebar kamar atau mana saja. Kuamati badan dari ujung kepala sampai kaki, banyak yang berubah seiring aku menua. Dulu, rambut ini tak bergaya apa-apa – hitam dan polos. Sekarang pun masih sama, hanya aku membuatnya sedikit keriting di bagian bawah. Memberi siluet indah saat digerai.

Dulu, wajahku ini tak bisa mendatangkan keuntungan apa-apa. Sekarang aku bahkan sampai tak percaya kalau ini wajah seorang Allura. Dulu aroma badan ini membuat orang pergi dan lalat datang, sekarang jejak aromaku tertinggal bahkan sampai beberapa jam berlalu.

Badanku dulu hanya terbalut seragam SMA polos dan baju rumahan yang mulai lusuh. Sekarang setiap minggu aku selalu berganti model pakaian. Semua jenis pakaian bisa kucoba semenjak punya gaji dua digit. Bisa dibilang hidupku mengalami banyak perubahan, bukan cuma fisik. Namun, aku berkembang jadi gadis yang mulai bangga pada diri sendiri.

Aku bisa membatasi orang mendekat padaku bahkan. Namun, kali ini aku tak bisa melarang dia memandangiku dalam diam. Aku tak bisa melarangnya pergi karena Raenolah manusia yang kunanti selama sewindu berlalu. Siapa yang sangka jika kami bertemu dengan cara seperti ini.

Senja adalah pembatas siang dan malam. Meja ini masih membatasi kami, tapi tidak dengan alur pikiran masing-masing. Aku yakin kami memikirkan hal yang sama. Apa yang telah terjadi selama kami berpisah? Apa dalam sewindu ini banyak berubah. Kurasa dia merenungkan itu dalam diamnya.

Manik mata itu masih sama, tajam dan dingin saat menatap sesuatu. Rambutnya telah banyak berubah, bukan lagi potongan anak sekolahan. Dia telah memilih model cepak sesuai dengan busana yang dikenakan tubuh tegapnya itu. Ah iya, dia lebih tinggi dari yang dulu. Dadanya tetap bidang dan lengannya kekar. Raeno mengalami perubahan tubuh yang kentara.

Kakinya bertambah jenjang bahkan sampai melewati lebarnya meja ini. Sepatu sekolah hitam bertali itu telah berganti sepatu lars tinggi. Tampak angker dan berwibawa saat berjalan. Tentu saja tadi menimbulkan suara yang ngeri. Aku memang sudah gila karena mengamati setiap inci tingkah Raeno. Dia tetap pria yang menawan cuma dari langkah sepatunya.

“Apa kabar, Allura?” tanyanya yang membuyarkan imajinasiku.

Gegas aku gagap dan menata ulang napas yang kembang kempis. Tak cuma itu, kubenarkan letak sanggul pramugariku sebab kami bertemu selepas aku terbang. Tak ingin mengulur waktu, aku tak mau mengganti baju. Sekalian saja pamer kalau aku sudah jadi seseorang yang beda.

“Al?” gugahnya bingung. Pasti aku sudah melamun kosong.

“Eng ya … kabar baik,” jawabku gugup seraya menyesap sekali dua kali teh lemon dingin di atas meja. “Gimana kabarmu?”

Karena masker dilepas untuk keperluan minum, aku bisa memandangi seluruh wajahnya. Dia pun tampak tak nyaman karena berulang-ulang menyeruput kopi hitam dengan menatap ke arah lain. Seolah tak mau berkontak mata denganku. Kami memang saling memandang dan mengamati, tapi semua dengan diam-diam. Dia memandangku saat aku sibuk memeriksa ponsel, begitu pun sebaliknya.

“Kok kaku sekali vibes-nya,” celetukku yang dibalas kekehan kaku olehnya.

“Ba – baik, kabarku baik,” jawabnya terbata.

“Masa pak tentara gelagapan gitu sih?” Aku berusaha mencairkan suasana meski hatiku sudah menciut jadi acar mentimun.

Dia hanya tersenyum tanpa suara, lalu mengedarkan pandangannya ke arah kesibukan Soekarno-Hatta di siang hari. “Habisnya baru sekali ngobrol sama pramugari.”

Karena geli tentu saja aku tertawa, begitu saja tanpa dikarang-karang. “Aku nggak tahu apa kamu beneran atau pura-pura, aku majang foto berseragam pramugari di setiap medsosku, Rae,” selorohku percaya diri.

“Benarkah?” ceplosnya yang akhirnya menatapku heran. “Aku nggak punya medsos.”

Pantas kamu nggak bisa dijangkau, Rae.

“Pantes …,” ceplosku ragu.

“Kenapa?” ulangnya yang kujawab gelengan. Bukan hal penting.

Kami terdiam lagi setelah tertawa salah tingkah. Tentara berloreng di depanku ini sangat kaku. Tampaknya aku tak berhasil menarik perhatiannya karena Raeno fokus membuka notifikasi yang masuk. Aku mulai mati kutu meski seribu tanya ingin kukeluarkan. Raeno tetap sama meski berseragam sekolah atau tentara. Sama-sama menawanku dalam kediaman dan kedinginannya.

365 Senja (End)Where stories live. Discover now