14. Pindah?

Mulai dari awal
                                    

"Eh, pipi Lo merah!" Aku dengan spontan menyentuh pipinya yang memang terasa hangat. Kok bisa merah ya?

"Rumah Lo panas, makanya merah muka gue." Elak ku sambil mengipasi wajah.

Mbak Siti kelihatan nggak percaya karena nggak jauh dari kami ada AC yang terpasang. Aku yang takut ketahuan lagi bayangin Mas Reyhan akhirnya berdiri, "Eh, gue balik dulu ya! Udah jam segini, bye!" Dengan secepat kilat aku pergi dari rumah Mbak Siti, bisa malu aku kalau ketahuan.

🏠🏠🏠🏠

Karena sudah terlanjur malu, aku pulang ke kontrakanku. Sebel banget sumpah sama pipiku yang memerah cuma gara-gara bayangin Mas Reyhan jadi pasangan aku. Nggak ngerti lagi aku tuh sama pipiku. Suka nggak bisa di ajak kerja sama dia. Rasanya aku nggak mau ketemu sama siapa-siapa dulu saking keselnya. Padahal rumah Mbak Siti tuh jauh loh, aku bela-belain dateng kesana mau curhat, eh malah berantakan.

Tapi pas sampai di kontrakan aku malah ketemu sama Maira, lagi berdiri di depan mobil Mas Reyhan sambil bawa tas besar gitu.

Mau kemana, ya?

Jiwa kepo ku langsung meronta-ronta ngelihatnya. Karena rasa kepoku yang nggak tertahankan, aku pun pergi nyamperin Maira yang lagi main Handphone. Aku mencolek lengan Maira agar dia sadar aku di dekatnya. Maira kelihatan sedikit kaget dan langsung melihat ke arahku. Matanya terlihat menyipit saat tersenyum.

Aku menunjuk tas besarnya dengan dagu, kode bertanya tanpa mengeluarkan suara. Kalian boleh coba loh kalau mau. Maira yang ngerti dunia perkode-kodean pun menjawab, "Mas Reyhan mau pindah kerumahnya Key."

Aku membelalakkan mataku, "Kenapa? Kok tiba-tiba mau pindah?"

"Nggak tau. Katanya sih takut khilaf kalau lama-lama tinggal di sini."

Aku mengangguk kan kepalaku tanda mengerti. Mungkin Mas Reyhan takut khilaf sama tetangga baru sebelah kali ya. Janda soalnya, bohay lagi. Kan ada yang bilang tuh kalau janda lebih menggoda. Padahal mah perawan kayak kita ini lebih asyik ya kan. Nggak nyangka aku tuh sama Mas Reyhan, ternyata type nya yang kayak gitu. Mundur alon-alon lah kalau gitu aku-nya.

"Kamu pasti lagi mikir yang nggak-nggak ya?" Mas Reyhan yang baru keluar dari rumah kontrakan nya, berdiri di samping Maira sambil menunjuk ku galak.

"Ih, nggak ya! Fitnah!"

"Dari muka kamu udah kelihatan."

Aku hanya memberengut kesal karena tebakannya yang seratus persen benar. Maira tampak tertawa melihat perseteruan kami berdua. Ya, mau gimana lagi, kalau ketemu Mas Reyhan tanpa berantem itu kayak goreng telur tapi nggak di kasih micin, kurang sedap.

Maira mengelus lenganku lembut, "Ya udah kita jalan dulu ya, Keyra." Pamitnya.

Aku mengangguk, tersenyum menatapnya yang sudah masuk kedalam mobil terlebih dahulu. Tinggal lah aku dan Mas Reyhan yang masih belum masuk ke dalam mobil. Aku mengangkat alisku, menatapnya yang menatapku balik dengan wajah datar.

"Kenapa lihatin aku kayak gitu?"

Mas Reyhan hanya berdeham, mengalihkan pandangannya sambil mengusap rambutnya. Sedetik kemudian ia kembali menatapku,

"Kamu kalau ada apa-apa langsung telepon aku!"

Aku mengernyit mendengar nada suaranya yang memerintah, "Ngapain aku harus telepon, Mas?"

"Ya, karena nggak ada yang jagain kamu di sini."

Aku mengangguk mengerti, "Okey."

"Kalau bisa pulangnya jangan sampai di anterin sama temen cowok kamu."

Mas ReyhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang