Rumah

3.6K 428 17
                                    

Ruangan sudah gelap gulita ketika Arm dan Pol kembali ke kamar mereka. Arm menyalakan lampu sebelum mengernyit silau dan berjalan ke dapur.

"Mandilah lebih dulu, aku akan memanaskan makanan instan untuk kita."

Sementara Pol melangkah gontai ke kamar mandi, Arm mengeluarkan makanan beku instan dari kulkas dan menghangatkannya dalam microwave. Ia melirik ke arah jam di dinding.

Pukul satu pagi.

Tentunya, ia tidak terkejut. Kembali ke asrama pada tengah malam setelah permainan tebak-tebakan tentang film dengan Tankhun bukanlah hal baru.

Setidaknya itu memberinya pengalaman jika ia berpikiran untuk menjadi kritikus film di kehidupan berikutnya.

Hanya saja rasanya lebih sepi dengan hanya mereka bertiga. Kinn akan ikut sesekali, yang berarti Porsche juga datang. Kim akan muncul sesekali hanya untuk membuat Tankhun sebal, dan kemana pun Kim pergi, Porsché juga ada di sana. Tapi tetap saja rasanya sepi.

Tidak butuh seorang jenius untuk mengetahui bahwa itu adalah cara mereka untuk mengatasi ketiadaan seorang mantan kepala pengawal. Tankhun sedikit lebih pendiam, tidak terlalu banyak bertanya tentang serial apapun itu yang sedang mereka tonton.

Pete adalah yang paling cerewet di antara ketiga pengawalnya. Ialah yang akan menjawab seluruh pertanyaan dengan benar, dan ia memahami Tankhun seperti punggung tangannya sendiri.

Tankhun tidak pernah mengatakan apappun, tapi menyeret mereka berdua ke rumah keluarga kedua tiap akhir pekan menunjukkan seberapa ia merindukan mantan pengawalnya yang cerita tersebut.

Dan, terkadang, Arm akan memikirkan apakah Pete merindukan mereka seperti mereka merindukannya

Pol berjalan keluar dari kamar mandi dengan sehelai handuk membalut pinggangnya. Arm berjalan ke arahnya dan menunjuk ke arah makanan instan yang sudah dihangatkan dan diletakkan di atas meja sebelum masuk ke kamar mandi.

Setelah mereka tercium seperti kain segar yang baru dicuci, Pol duduk di sofa dan menepuk-nepuk tempat di sampingnya, mengisyaratkan Arm untuk duduk di sisinya. Arm mengganti pencahayaan dengan lampu di samping sofa sebelum mengambil posisi duduk. Senyap menyelimuti ruangan selain dari suara halus pendingin ruangan selama mereka menghabiskan makan malam.

Pol bersandar di sofa, merentangkan tangannya sementara Arm bersandar pada dirinya dan membiarkan Pol merangkulnya. Ia menghela napas berat sebelum menutup matanya, menghirup dalam-dalam aroma pengharum pakaian yang menguar dari tubuh Pol.

"Melelahkan, ya?" Pol tiba-tiba bicara, memecah kesunyian.

Arm mengangguk dan membuka matanya, menatap langit-langit dimana efek fosforensi dari lampu menyala di kegelapan.

"Aku merindukan Pete." Pol bergumam dalam helaan napasnya.

Arm mengeratkan pelukannya di pinggang Pol.

"Sudah enam bulan berlalu." Arm berdecak pelan.

"Sepertinya waktu tidak selalu menyembuhkan segalanya." kata Pol, tangannya tanpa sadar memainkan rambut kekasihnya.

"Sekali, dua kali, tidak. Berkali-kali aku berpikir bahwa Pete egois karena meninggalkan kita. Bagaimana bisa ia melakukan itu setelah semuanya, setelah sekian tahun yang kita habiskan bersama di sini. Khususnya untuk orang seperti Khun Vegas, yang pernah menyekapnya. Tapi sebenarnya, aku paham. Begitulah rasanya menjadi seseorang yang istimewa. Itulah rasanya memiliki seseorang yang benar-benar menghargai hidupmu." Arm berkara sambil membayangkan sang mantan pengawal.

"Itulah efek dari menjadi seorang pengawal. Melindungi seseorang selama bertahun-tahun pada suatu saat akan membuatmu mempertanyakan nilaimu sendiri. Mereka bilang, berhati-hatilah, atau sesuatu seperti kau harus kembali hidup-hidup. Tapi jauh di lubuk hatimu, kau akan sadar bahwa hidupmu bukan apa-apa dibandingkan dengan mereka." Arm melanjutkan

"Kau harus melindungi mereka apapun risikonya, termasuk hidupmu sendiri. Jika kau meninggal dunia, itu adalah pengorbanan dan seiring berlalunya waktu, semua orang akan melupakannya. Tapi jika mereka meninggal dunia, artinya kau gagal melaksanakan tugasmu dan hal itu akan melekat padamu seperti nama tengahmu."

"Haruskah kita berhenti juga? Mungkin kita bisa hidup seperti Pete?" Pol bertanya dengan nada bercanda

"Kita bisa pindah ke tempat di mana tak seorang pun mengenal kita. Memulai hidup baru, hanya kita berdua. Di rumah kecil yang nyaman. Perabotannya terbuat dari kayu. Kita bisa bekerja sebagai guru, atau semacamnya. Pulang pukul lima sore tiap hari. Kita bisa menikmati waktu makan dengan tenang. Tidak perlu waswas atas segala bahaya. Di suatu tempat di mana kita bisa menjadi diri kita."

"Khun Korn tidak akan keberatan. Tapi Khun Tankhun akan mengamuk jika ia tahu." Arm menjawab, membayangkan kekacauan yang akan dibuat oleh Tankhun jika mereka pergi.

"Lihat, kita bahkan tidak bisa memutuskan apapun untuk diri kita sendiri tanpa memikirkannya." Arm menertawakan ucapannya sendiri.

"Mungkin, di kehidupan berikutnya." Pol menyisir rambut gelap Arm dengan tangannya.

"Yah, mungkin pada saat itu kita tidak perlu lagi bersembunyi tiap saat."

"Tapi, untuk saat ini, kita harus puas dengan ini, bukan?" Pol menghela napas berat dan mengeratkan pelukannya.

Arm tersenyum dan membenamkan wajah di dada kekasihnya, jantungnya berdetak seirama dengan jantung Pol.

"Tapi aku sungguh-sungguh berpikir ini semua cukup untuk saat ini. Aku hanya perlu menatapmu, dan aku akan merasa berada di rumah." Pol berbisik penuh kasih.

Tidak ada lagi yang berbicara di antara mereka hingga matahari bersinar melalui celah gorden. Mereka mungkin akan terbangun dengan sakit punggung dan leher yang kaku. Tapi, siapa peduli?

The Simple Things (KinnPorsche The Series Fanfiction)Where stories live. Discover now