𝟐𝟓. 𝐀 𝐂𝐫𝐚𝐜𝐤 𝐢𝐧 𝐭𝐡𝐞 𝐆𝐥𝐚𝐬𝐬

Start from the beginning
                                    

Haga pun mengulas sebuah senyuman palsu. "Belum tidur, Ra?"

Heira menggeleng. "Gue nunggu lo."

"Gue juga mau ngobrol sama lo," balas Haga.

Heira mengangguk pelan, ia tahu pasti sang kakak ingin membahas tentang ayahnya yang bersama Hazel tengah malam. Dari sorot dwinetra Haga yang terlihat begitu lelah, Heira bisa mengerti bagaimana perasaan sang kakak saat ini.

"Terus ... Papa gimana?" tanya Heira.

Haga mengerenyit, tak mengerti ke mana arah pertanyaan adiknya. Maka, Heira pun memberikan penjelasan lebih dalam. "Maksud gue, Papa kita tinggal aja di situ? Enggak dibawa ke kamarnya, Kak?"

Haga mendenguskan tawa remeh dan tersenyum pahit mendengarnya. Pikirnya, Haga sudi?

Tanpa menjawab, Haga langsung bangkit dari sofa, meninggalkan sang ayah dan beralih melangkah menuju tangga.

Dalam jarak dekat, Heira bisa melihat ekspresi kakaknya yang begitu datar, seolah ia sudah tidak memiliki gairah untuk sebuah kehidupan. "You okay?" tanya Heira. Namun, tak digubris oleh ia yang terlihat lemas dan berlalu begitu saja melewati adiknya.

Maka, Heira mengulang pertanyaan dengan nada yang kali ini sedikit lebih keras. "Kak! Gue nanya! You okay?"

Langkah Haga pun terhenti, tangannya mengepal begitu kuat lantaran tak tahan mendengar pertanyaan sang adik. Lalu, tepat di anak tangga terakhir, Haga membalikkan tubuhnya dan menghadap Heira yang sedang melangkah mengikuti dirinya. Sontak, Heira pun ikut berhenti.

Detik berikutnya ... tanpa Heira duga, tanpa Heira pernah bayangkan sebelumnya, Haga menyahut dengan nada tinggi dan penuh akan amarah. "GUE CAPEK!! LO BISA BERHENTI, HEIRA SANDERS?!!"

Gadis itu tersentak. Ia terkejut bukan main. Untuk pertama kalinya, Heira mendengar Haga membentak ia yang paling dijaga perasaannya oleh Haga selama bertahun-tahun lamanya.

"S-sorry, gue enggak maks-"

Belum selesai, Haga sudah berbalik lagi dan langsung meninggalkan Heira begitu saja. Ia lantas memasuki kamarnya demi mencari sebuah ketenangan, karena orang-orang malam ini sudah cukup menguji kesabaran.

Panik karena sang kakak akan marah berkepanjangan, Heira pun mengejar Haga hingga ia hampir ikut masuk ke dalam kamar, jika saja pria itu tidak dengan tiba-tiba menutup pintu kamarnya dengan kencang.

Bruk!

Untuk kedua kali, Heira berhenti. Dadanya berdebar kencang melihat Haga yang seperti ini. Seumur hidupnya, ia melihat sosok sang kakak adalah tipikal pria santai yang tak mau ambil pusing segala hal. Termasuk skripsi.

Namun, malam ini ia terlihat begitu berbeda. Seolah iblis merasuki jiwanya dan mengganggu ketenangan batin seorang Haga.

"K-Kak?" Gadis itu masih berusaha memanggilnya. Namun, seperti yang ia duga, tak ada jawaban apa-apa.

"Kak ... maafin gue. Gue enggak bermaksud memperkeruh suasana."

Sepuluh detik, tetap tak ada jawaban dari Haga. Lantas, Heira kembali berusaha.

"Kak, k-kita enggak jadi ngobrol? Gue dari tadi nunggu lo pulang, gue enggak bisa tidur, gue kepikiran Hanna dan ... Hazel."

Haga yang masih berdiri di balik pintu kamarnya sembari mengatur deru napas emosi, jelas mendengar semua yang Heira katakan. Namun, untuk saat ini tak ada rasanya tak ada yang bisa Haga lakukan, selain bersandar di pintu dan memejamkan mata untuk meredam amarah.

"Kak?"

Kala suara itu terdengar lagi, Haga membuka matanya. Dengan kondisi hati yang sedang tak baik, Haga pun akhirnya berbalik dan membuka pintu kamar. Kini ia berhadapan dengan sang adik yang menatapnya dengan nanar.

Stolen SweetheartWhere stories live. Discover now