Andika mondar-mandir di halaman rumah sembari menunggu sang putra. Begitu sebuah mobil hitam memasuki pekarangan, Andika baru lah merasa tenang.

Sosok yang ia tunggu keluar dari sana, sembari dibantu dengan dua orang yang Andika kenal sebagai Sena dan Tama.

"Papa kok udah pulang?" Begitu sampai di hadapan Andika, Jenggala bertanya.

"Kebetulan pertemuan di undur, jadi Papa memutuskan untuk pulang. Selain itu, ada sesuatu yang ingin Papa bicarakan dengan kamu."

Jenggala, Sena, dan Tama sudah tahu kemana arah pembicaraan Andika. Jadi Tama meminta ijin untuk ikut masuk dan menjelaskan apa yang terjadi.

Di tengah kebingungan ini, Andika hanya mengangguk setuju. Padahal Andika tak pernah menyangka, jika hal ini mungkin akan berkaitan dengan keduanya.

"Jadi, benar, Daksa adalah dalang dibalik ini semua?" Suara Andika tercekat sesaat setelah Tama selesai menjelaskan. Andika menatap putranya lekat-lekat.

Merasa tak ada gunanya lagi menyembunyikan ini semua, Jenggala mengangguk pelan. Kemudian sedikit tersentak saat tiba-tiba Andika membawa tubuhnya ke dalam pelukan.

Tak ada suara lagi yang dikeluarkan Andika. Namun Sena, Tama dan Jenggala jelas mendengar bahwa lelaki itu menangis.

"Pa? Kenapa Papa nangis?"

"Maafin Papa. Maafin, karena Papa hidup kamu seperti ini. Papa yang membuat kamu hadir, tapi Papa melepas kamu karena keegoisan. Kamu berhak benci Papa, La."

Lalu dengan tiba-tiba Andika bersimpuh di bawah Jenggala. Memeluk kedua kaki putranya sembari terus meminta maaf dengan lirih.

"Maafin Papa, Nak ... maafin Papa. Papa terlambat. Papa nggak bisa bantu kamu. Maafin Papa ...,"

"Pa, jangan gini." Tangan Jenggala bergetar saat meraih tangan yang lebih besar. Isakan pilu papanya membuat Jenggala mengigit bibir bawahnya kuat-kuat.

Trauma itu selalu membuatnya tak bisa tidur. Selama ini, Jenggala hanya berusaha terlihat baik-baik saja. Tetapi sebenarnya tidak, jiwanya benar-benar terguncang. Ia masih belum bisa menerima takdirnya.

"Papa nggak terlambat. Papa datang di waktu yang tepat. Sekarang aku cuma butuh Papa kok."

Sekali lagi, Andika membawa tubuh rapuh itu ke dalam pelukan. Memeluk putranya erat sekali, enggan melepaskan. Ketakutan yang ia rasakan, perlahan hilang seiring dengan amarah yang mulai terbentuk di benaknya.

Tanpa Sena dan Tama sadari, tatapan Andika menajam. Namun itu hanya bertahan selama beberapa detik, karena setelahnya, Andika memasang ekspresi seperti biasa.

"Apa sekarang rasa sakit itu sudah sedikit terobati, Nak?" tanya Andika setelah sedikit tenang. Kini tangannya mengusap rambut Jenggala dengan lembut.

"Belum. Tapi setidaknya tidak sesakit dulu. Maafin Jenggala, karena harus sembunyiin semuanya dari Papa. Bukan maksud aku nggak percaya sama Papa, tapi aku pengen buat perhitungan dengan tanganku sendiri."

"Papa ngerti, Nak, ngerti. Tadinya Papa marah, marah karena Papa khawatir. Tapi sekarang, Papa baik-baik aja. Papa akan terus dukung kamu apa pun yang terjadi." Kemudian Andika mengecup pucuk kepala putranya.

|✔| Kedua Where stories live. Discover now