"Ada tugas, Ma. Kemungkinan ngerjainnya juga lama. Jadi daripada bolak-balik, kan lebih enak tidur di sana sekalian."

Dayita menganggukkan kepala. "Boleh." Lantas wanita itu curi-curi pandang pada sang putra. "Kamu nggak mau jenguk Jenggala?"

Mendengar nama itu, sontak Daksa menegang tanpa sadar. Namun saat suara langkah kaki masuk di pendengaran, Daksa segera merubah raut wajahnya.

Sosok Nuraga berjalan mendekat. Melempar senyum tipis pada sang istri sebelum duduk di meja makan. Sejak kejadian itu, Nuraga banyak berubah. Pria itu tampak jauh lebih dingin dari biasanya.

Setelahnya, sosok Sahmura ikut bergabung. Suasana meja makan terasa dingin. Daksa yang sudah duduk di sebelah Sahmura, menatap anggota keluarganya satu per satu.

Wajah mereka tampak gelap dengan lingkaran sedih. Diam-diam, Daksa menghela napas panjang.

Sesi makan disudahi dengan Nuraga yang pergi lebih dulu. Diikuti dengan Sahmura kemudian Dayita. Di meja makan, hanya menyisakan Daksa yang terpaku menatap layar ponsel miliknya.

"Sial!" makinya dengan suara tertahan.

◖◖◖

"Lo semua bego! Gimana bisa ada saksi mata yang lihat kalian?!"

Sekitar enam pria di depan Daksa saling melirik satu sama lain. Bukan mereka takut pada Daksa, melainkan mereka hanya bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan anak muda di depan mereka ini.

Sedangkan pria yang menjabat sebagai ketua geng itu maju perlahan. "Kita juga nggak tau, Sa. Kayaknya yang menjadi saksi adalah kasir minimarket." ucapnya.

"Bodoh!" Daksa mengusap wajahnya kasar. "Kalau jejak kalian berhasil diketahui polisi, gue nggak akan ikut campur. Gue rasa, urusan kita sampai di sini aja."

Mendengar itu, banyak protes tak terima yang terlontar. "Nggak bisa gitu. Lo juga terlibat dalam masalah ini!" ucap salah seorang pria di sana.

"Gue udah bayar kalian mahal! Untuk urusan sama polisi, itu bukan urusan gue lagi!" Kini Daksa menatap sang ketua geng yang terdiam. "Awas aja kalau lo semua sampe berani nyebut nama gue, gue nggak akan segan-segan berbuat lebih ke kalian!"

Kemudian setelah mengatakan itu, Daksa membawanya langkahnya pergi. Meninggalkan pria-pria itu yang tengah menggeram marah.

Salah seorang pria mendekat, menepuk bahu sang ketua. "Bos, kita harus balas dendam. Kalau Daksa nggak mau bantu kita, kita harus kasih pelajaran ke dia."

"Gue setuju!!" sahut salah seorang pria lainnya.

Tak menjawab, sang ketua hanya menatap ke depan dengan pandangan datar. Namun diam-diam otaknya tengah merencanakan sesuatu.

◖◖◖

Tangan yang sejak tadi Andika genggam, kini bergerak lemah. Andika, Sena, dan Tama serta seorang dokter berdiri mengelilingi ranjang Jenggala.

Beberapa menit berselang, mulut tipis Jenggala bergerak di iringi dengan kepalanya yang bergerak lemah. Dokter yang memang menangani Jenggala sejak awal, buru-buru maju dan bertanya. "Jenggala, kamu bisa dengar saya?"

|✔| Kedua Where stories live. Discover now