iv. karena perbedaan adalah keniscayaan

437 126 24
                                    

Jam menunjukkan pukul setengah enam sore. Rein berkemas dari tempat duduknya. Ia memasukkan laptop dan buku bacaannya ke dalam tas. Setelah memastikan kondisi sekretariat dalam keadaan rapi, barulah Rein keluar dari ruangan itu dan mengunci pintu. Ia berjalan menuruni tangga dan keluar dari Gedung Kegiatan Mahasiswa (GKM)--tempat seluruh UKM dan himpunan kemahasiswaan berkumpul. Tujuannya adalah Masjid Al-Huda, masjid kampusnya. Ia memutuskan untuk melaksanakan ibadah salat magrib di kampus, lalu pulang ke indekosnya.

Di perjalanan menuju masjid, ponsel Rein berdering. Nama Mama tertera di layar. Rein tersenyum tipis dan segera mengangkat telepon.

"Assalamu 'alaikum, Rein ...."

Lidah Rein kelu. Ia tersenyum kaku. Perasaannya berubah sendu. Dan hal ini selalu terjadi tiap Gieba, ibunya, mengucap salam.

"Halo, Ma." Rein menjawab singkat.

"Udah selesai kelasnya, Rein?"

"Udah selesai dari jam empat, Ma. Tadi Rein ke sekre dulu untuk ngerjain proker dan bahan rapat. Sekarang, Rein lagi jalan ke masjid."

"Oke ... hati-hati ya. Kamu udah makan?" tanya Gieba, "oh, ini Senin. Puasa, ya?"

"Insya Allah, Ma."

"Oke. Jaga kesehatan ya, Rein," ujar Gieba.

"Iya. Mama juga ya," balas Rein. "Papa gimana? Sehat juga, kan?"

"Iya ... kami baik-baik aja," balas Gieba. "Oh iya, pekan depan, Mama ambil cuti tiga hari, Rein. Mama mau nyepi di Bali sama Niang. Sudah lama juga Mama nggak ketemu Niang. Kamu mau ikut? Udah lama juga, kan, kamu nggak ketemu Niang? Nggak kangen?"

Rein membuang napas. Langkahnya terhenti. Belum sempat ia menjawab, Gieba sudah kembali membuka suara.

"Maksud Mama, pas lagi nyepi, nggak usah ketemu Niang ... Kamu bisa ke tempat lain dulu. Mungkin bisa ketemu sama Deana? Dia kuliah di Bali, kan? Nanti setelah selesai nyepi, baru main ke rumah Niang. Katanya, Niang kangen sama kamu."

Rein menggumam. Ada banyak sekali alasan baginya untuk tidak pergi ke Bali. Bukan karena ia tidak rindu kepada Niang, neneknya. Bukan juga karena ia membenci Bali sebagai tanah lahirnya. Hanya saja ... ada banyak hal yang tidak sejalan dengan prinsip Rein saat ia berhubungan dengan keluarganya sendiri. Ditambah lagi, ia masih memiliki segudang amanah di kampus yang tidak bisa ia tinggalkan.

"Tapi kalaupun nggak bisa, nggak apa-apa. Jangan lupa video call sama Niang aja, ya?" Gieba yang paham kondisi Rein langsung mengangkat suara.

"Iya nih, Ma. Rein lagi ada projek di UKM dulu. Tugas kuliah juga lagi numpuk ... pekan ini harus selesai ambil data penelitian. Rein juga kangen Niang .... Nanti Rein telepon Niang ya, Ma." Rein menjawab sambil kembali meneruskan langkah. "Papa ke Bali juga?"

"Iya. Mau sekalian melukat di sini."

Mendengar itu, langkah Rein kembali berhenti. Meskipun sudah hidup bersama orang tuanya selama dua puluh tahun, potret toleransi dan harmonis yang coba dibangun oleh orang tua Rein tidak pernah bisa ia terima. Pikiran dan hati Rein selalu terusik. Dulu, Rein menganggap itu sebagai hal biasa. Ia hanya merasa tidak nyaman melihat perbedaan di antara kedua orang tuanya. Rein pikir, alasannya karena dulu ia masih terlalu kecil dan belum memahami esensi beragama. Juga belum tahu bagaimana wujud cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Akan tetapi, saat ini Rein tahu alasannya. Bahwa semua potret perbedaan yang selalu dibingkai manis oleh orang tuanya bukan suatu hal yang bisa dibenarkan. Sebab itu melanggar prinsip keagamaan. Juga menyalahi pembuktian cinta kepada Allah.

"Rein?" Gieba kembali memanggil namanya. "Kamu gapapa? Apa kamu marah karena Papa mau ke Bali dan mau melukat?"

Rein menggeleng kecil. Matanya terasa perih. Ia tahu bahwa ia siap menangis. "Gimana bisa Rein marah sama orang yang paling Rein sayang?"

RefereinsiWhere stories live. Discover now