iii. karena tujuan kuliah adalah ibadah

659 121 30
                                    

Heol! Daebak!” Netta berseru sambil menepuk tangan berkali-kali saat melihat hasil nilai UTS pidato yang dikirim ke grup kelas. Tatapan mata Netta fokus kepada mahasiswa yang berada di dua baris teratas: dua mahasiswa yang mendapat nilai A pada UTS pidato pekan lalu. Bangkit dari kursinya, Netta berjalan ke arah Sativa dan duduk tepat di sebelah perempuan itu dan berbisik, “Halo, Bestieee! Gimana? Senang nggak, Tiv?”

Sativa mengernyit, “Senang kenapa?”

“Yaelah ... lo pura-pura nggak paham lagi. Nilai UTS pidato lo, lah!”

Sativa hanya mengangguk kecil. “Oh ... karena gue dapat A?”

“Bukan! Karena lo berhasil ngejatuhin mentalnya Adiran!”

Mendengar namanya disebut, Adiran yang masih fokus menatap hasil nilai UTS melalui layar ponselnya berdecak kesal. Netta hanya membalas tatapan tajam mata Adiran dengan mengangkat kedua tangannya membentuk huruf V sambil berkata, “Peace, Paduka.”

Setelah itu, Netta memanggil Rein yang duduk tepat di depannya. Rein membalikkan badan, menjawab panggilan Netta.

“Kalau kamu gimana, Rein? Senang nggak dapat A?”

Rein bergumam pelan.  “Bukan senang, sih, Ta ... lebih ke ... apa, ya? Lebih ke bersyukur.”

“Hah?” Netta terperangah mendengar jawaban Rein. “Bersyukur? Oh ... kayanya ada lagunya, ya. Bersyukur ... kepada Allah... Bersujud sepanjang—”

“Rein, Prof. Dandi ngirim apalagi selain nilai UTS?” Nyanyian Netta terhenti saat Adiran menghampiri Rein di kursinya. Laki-laki yang terkenal ambisius itu terlihat gusar saat bertanya kepada Rein.

“Nggak ngirim apa-apa lagi, Ran. Cuma ngirim hasil nilai UTS aja,” balas Rein. Pada semester ini, Rein memang menjadi penanggung jawab mata kuliah Kemahiran Bahasa Indonesia. Semua bentuk komunikasi dengan dosen pengampu, Prof. Dandi, dilakukan oleh Rein.

“Bisa tanya sistem penilaian untuk yang pidato impromptu, nggak?” Adiran bertanya lagi. “Pekan kemarin, kan, Prof. Dandi bilang mau ngejelasin sistem penilaian pidato impromptu selesai kelas, tapi karena ada mahasiswa pasca yang mau bimbingan, beliau jadi keluar kelas sebelum ngejelasin apa-apa. Bukannya apa, sih, kita juga kan perlu tahu gimana sistem penilaian untuk yang pidato impromptu, khawatir penilaiannya bias atau nggak fair. Jadi, kita—”

“Kitaaa?” Netta yang menyimak percakapan Adiran dengan Rein ikut menyela. “Lo aja, gue enggak.”

“Diem aja deh, Ta. Komentar lo nggak berbobot.”

“Emang!” balas Netta bangga. “Lagian apaan sih, Ran, bawa-bawa kita. Seisi kelas ini yang kepo sama sistem penilaiannya cuma lo doang—eh, sama Ninda juga sih. Kalau gue sih nggak kepo sama sekali, ya. Soalnya, yang dapat nilai A juga emang yang bagus-bagus banget pidatonya. Itu lo aja sih yang kepo—”

“Berisik, Ta,” potong Adiran lagi, “mending lo pikirin tuh nilai UTS pidato lo sendiri. Harusnya, buat mahasiswa yang dapat nilai C, lo merasa insecure, kan, Ta?”

Netta tertawa canggung. “Wah ... kalau gue, sih, nggak insecure sama sekali, Ran! Gue secure banget sih sama nilai gue. Buat gue, nggak masalah tuh dapet C. Nilai C kan artinya cukup, ya? Jadi, gue merasa cukup, sih, sama nilai gue. Daripada lo—”

Sativa yang duduk di sebelah Netta mengetuk meja—memberi isyarat agar Netta berhenti berdebat dengan Adiran.

“Gue kenapa, Ta?” tanya Adiran, melanjutkan ucapan Netta yang terpotong.

“Ya daripada lo! Tantrum terus setiap dapat nilai di bawah A!”

Sativa yang tahu perdebatan ini akan terus berlanjut segera bangkit dari kursinya.

RefereinsiHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin