"Ibuku mengira bahwa Richelle sengaja menunda kehamilan karena belum rela jika memiliki perubahan pada bentuk tubuhnya. Seorang modeling sangat memerhatikan penampilan. Sejujurnya, Ibuku tidak mau percaya tapi melihat kami yang sampai sekarang belum juga memiliki anak-- ya, seperti yang ku bilang barusan."

Keduanya sama-sama menghela nafas dengan cara dan jeda yang berbeda. Effie mengigit bibir bawahnya karena bingung untuk mengutarakan apa sebagai nasihat atau semacamnya.

"Kenapa tidak kau tanyakan saja pada istri mu. Benarkah Richelle belum siap?"

"Itu dia! Richelle sama menginginkannya. Setiap kami periksa ke dokter untuk memastikan, dan jika jawaban dokter adalah tidak, wajahnya selalu murung dan awan mendung menjadi binar sendu yang menjelaskan bahwa Richelle merasa kecewa dan sedih. Untuk itu lah aku tidak selalu memaksanya untuk kembali ke dokter karena aku tidak tega melihatnya sedih."

"Berarti dugaan ibumu salah. Kau ini suaminya, apapun yang orang lain bicarakan termasuk ibumu, kau harus percaya pada Richelle atau paling tidak memastikannya terlebih dahulu, khawatir kau malah termakan dengan apa yang orang lain bicarakan yang justru berpotensi pertengkaran dalam rumah tangga mu. Usia pernikahan kalian bahkan belum sampai setahun, jaga baik-baik hubungan dan tentunya jangan miskomunikasi."

Alaric merenungkan tentang segala yang Effie katakan. Temannya ini benar bahwa dia jangan langsung terpengaruh oleh perkataan dari luar.

"Dan masalah keluhan mu tentang kesibukan Richelle, aku rasa permintaan mu itu bukan sebagai suami yang egois melainkan suami yang butuh istri saat-saat kau kelelahan dalam urusan kantor. Jadi, bicarakan lagi dan beri dia pengertian."

"Ya, akan aku bicarakan lagi dengannya tapi entah kapan, mengingat kami baru saja bertengkar."

"Hem, aku tunggu kabar baiknya." Ucap Effie sekaligus menyemangati.

"Ada banyak yang perlu ku urus, aku keluar, ya."

"Ya, thank you, Effie."

Effie mengangguk santai. "Ada lagi yang kau perlukan?"

Sejenak, Alaric terdiam. Lalu ia tersenyum heran. "Aku tidak tahu, tapi yang jelas aku menginginkan buah pisang. Tolong carikan dan bawa ke ruangan ku. Pastikan kualitas terbaik dan tidak ada cacat walau dari kulitnya sekali pun."

"Beres! Permintaan mu segera di ACC." Effie setengah bergurau tanpa merasa aneh dengan keinginan atasannya itu.

🌷🌷🌷

"YEA! Kerja yang bagus, Richelle. Foto-foto mu memang tidak pernah ada yang gagal." Ucap seorang fotografer begitu pemotretan selesai.

"Itu juga berkat sang fotografer handal. Terimakasih kerja samanya." Richelle merendah.

"Aku juga sangat berterimakasih karena bisa bekerjasama dengan mu. Omong-omong, kau terlihat pucat sekali. Kau baik-baik saja?"

"Entahlah, tapi memang badanku rasanya tidak enak, sepertinya aku butuh istirahat. Apa hari ini sudah selesai?"

"Sudah. Sudah. Kau bisa pulang lebih dulu."

"Baik lah kalau begitu."

Kemudian, Lucy datang dan menyerahkan sebungkus burger yang terlihat masih hangat. Ya, Richelle mendadak ingin memakannya setelah sebelumnya merasa tidak nafsu untuk makan apa pun.

"Bisa-bisanya seharian ini kau tidak makan! Perutmu kembung hanya karena air." Lucy mendengus. Mereka berjalan beriringan menuju lobby yang dimana supir mereka telah siap.

"Yang penting masih ada roti untuk mengganjal perut." Selorohnya seraya kembali mengigit burger nya.

"Apa kau masih merasa mual? Aku sudah menaruh minyak aromatherapy di tasmu. Begitu sampai di rumah, pakai pakaian hangat jangan sampai kedinginan atau paling tidak berbagilah kehangatan dengan suami mu." Lucy menaik turunkan alis.

𝙾𝚞𝚛 𝙳𝚎𝚜𝚝𝚒𝚗𝚢 (#𝟸 𝙴𝙳𝙼𝙾𝙽𝙳 𝚂𝙴𝚁𝙸𝙴𝚂)✓Where stories live. Discover now