2. Awal dari Kecurigaan

Mulai dari awal
                                    

     Terlambat tentu tidak pernah masuk dalam kamus kehidupan dan riwayat obrolan orang-orang terhadap Nada.

     Bisikan dari satu siswa ke siswa yang lain tak sampai disana. Ketika Marsel dengan bomber mocca ditambah celana jeans selutut keluar dari balik pintu kemudi, memancing para siswi pemuja pria tampan untuk menyatakan bahwa hari itu mereka melihat serbuk berlian berwujud manusia. Marsel sengaja ikut turun untuk menemui seorang guru yang berjaga di dekat gerbang.

     “Mohon maaf, Bu. Adik saya badannya kurang enak, lupa nggak pake garam nih,” Marsel menjeda ucapannya karena wanita di depannnya kini tertawa renyah, “Kalau boleh dia diizinin nggak ikut upacara.”

     Bu Rena selaku kesiswaan mengangguk, lalu memanggil salah satu anggota PMR untuk membawa Nada ke UKS.

     Setelah memastikan adiknya diantar dengan selamat, Marsel mengajukan sebuah pertanyaan untuk wanita berseragam di depannya. “Bisa saya bicara dengan wali kelas Juanada?”

o0o

     “Mbakku sayang! Dedek datang....”

     Tanpa ketukan pintu, tanpa salam. Serentetan kalimat yang diucap Jiyan ketika baru membuka pintu UKS tentu menjadikannya pusat perhatian diantara siswa lain yang juga disana.

    Sadar tak hanya kakaknya yang berada disana, telinga Jiyan memerah karena menahan malu. Apalagi ketika tahu sang pujaan hati yang telah mendiami hatinya semenjak SMP sedang bertugas, rasanya ia ingin menjungkirbalikkan sekolah ini andai sekuat dan se-raksasa ultraman.

     Niatnya untuk pergi dari sana pasti berhasil andai sang kakak yang ternyata menyadari keberadaannya tidak memintanya untuk masuk. Dengan kepala yang terus menunduk, Jiyan melewati tempat cinta ketiganya lalu memasuki bilik yang ditempati Nada. Begitu sampai, gorden segera ia tutup untuk menyembunyikan wajah merah padamnya.

     Bocah bongsor itu kini melipat kedua tangan di depan perut sambil melirik tajam ke arah kakaknya yang terbaring. Nada tertawa puas, bahagia karena image macho nan keren dari adiknya itu runtuh di depan crush-nya sendiri.

     Awalnya ia ingin marah, lalu mengabaikan sang kakak dan kembali ke kelas sambil menunggu guru jam pertama masuk. Tapi satu bagian dari muka bulat Nada mencuri perhatiannya. “Mata pean kenapa betem?”

     Satu pertanyaan dari Jiyan berhasil menghentikan tawa lemah Nada. Melihat perubahan raut wajahnya, ia yakin sang kakak tidak benar-benar sakit. Belum dijawabnya pertanyaan pertama tak membuat laki-laki pemilik mata sipit itu diam. Kejanggalan lain yang menurutnya tak biasa meningkatkan rasa penasarannya. “Kenapa dianter mas?”

     Detik demi detik berlalu, Nada tetap bungkam. Padahal bisa saja ia memaki sang adik yang menjadi penyebab keterlambatannya. Ia memandangi jam dengan strap berbahan kulit palsu yang melingkar di tangan kirinya, terlihat tidak berminat untuk menjawab dua pertanyaan tanpa pilihan jawaban dari sang adik. Jiyan tentu menyadari itu.

     Bahkan kepekaan penglihatannya berhasil menangkap bekas jam tangan yang terlalu rapat, hingga tercetak langsung di kulit sang kakak yang menyebabkan goresan disana. Padahal hanya sekilas melihat pun siapapun tahu, jam tersebut sengaja dipasang longgar. Pun rambut-rambut halus yang tumbuh cukup panjang di tangan Nada tentu akan membuat sang pemilik kesakitan bila memakai aksesoris tangan apapun terlalu ketat.

     Ada yang salah dengan kakaknya.

     Tangan Jiyan pun tergerak melepas jam tersebut, lalu mengelus lembut pergelangan tangan sang kakak. Bukannya tersentuh, Nada justru menghempas tangannya setelah sapuan pertama. “Balik kelas kono, jam pertamamu PKN, lho!”

Tangga NadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang