Dia benar-benar berdedikasi. Aku tersenyum tulus—bermaksud menyemangatinya. "Aku tahu kamu pasti bisa melakukan yang terbaik."

"Kenapa? Kamu bahkan belum terlalu mengenalku."

"Em, feeling?"

Galan tersenyum simpul. Entah bagaimana jantungku berdetak cepat. Setelah apa yang kulihat dan kurasakan ketika melihat Riana dan ayahku, melihat senyum Galan entah mengapa membuat hatiku hangat. Diam-diam aku menyukai perasaan ini.

Aku suka saat orang lain begitu hangat kepadaku. Kehangatan yang tak pernah kudapat dari orang yang seharusnya dekat denganku.

*****

Malam ini teramat cerah. Berbeda dengan malam-malam jika aku menghadiri acara, malam ini aku justru mengenakan warna paling terang—kuning. Aku menyukai kuning. Selama ini aku sering mengenakan warna gelap bukan karena aku menyukainya, tapi karena aku tidak ingin terlihat.

Saat Bunda masih hidup, beliau lebih suka membelikan pakaian yang terang untukku. Seperti putih, kuning, pink, biru laut. Di antara semua warna terang aku paling menyukai kuning—seperti warna matahari.

Aku memasuki halaman sekolah dan menyadari kalau malam ini sekolah amat sangat ramai. Halaman sekolah yang luas telah disulap menjadi panggung yang sangat menawan. Kemudian di sepanjang tepi halaman sekolah, stand-stand ekskul berjejeran menampilkan banner.

Aku hanya berdiri di tempat sambil memandang keramaian. Tempat ramai bukanlah hal yang aku kuasai. Aku merasa asing dan canggung. Aku melihat beberapa teman sekelasku, mereka berpakaian sangat menawan. Beberapa saat kemudian aku melihat Galan yang melambai dan berlari ke arahku.

"Hai." sapanya ramah—seperti biasa—setibanya di depanku.

"Hai." sapaku juga, bersemangat.

"Kamu terlihat sangat cantik." pujinya sambil memandang pakaianku.

Aku tersipu. Apa dia memang tipe orang yang mudah memuji orang lain? "Oh, makasih."

Aku balas mengamati Galan. Hari ini dia mengenakan jaket jins hitam dengan kaos berwarna putih. Dia juga terlihat sangat tampan malam ini. Galan mengamati jam tangannya—yang lagi-lagi berbeda dan terlihat sangat mahal. Pasti dia tipe orang yang sangat disiplin karena setiap aku melihatnya, dia selalu memandang jam tangannya.

"Aku udah nungguin kamu dari tadi. Aku kira kamu nggak datang. Kamu udah makan? Mau nonton acaranya di sebelah sana? Sekalian aku handle acara bareng anak-anak OSIS lain?" tanyanya. Dia terlihat sedang sibuk tetapi ketika menatapku, aku tahu dia tidak ingin ditolak. Entah mengapa ada tatapan permohonan.

Akhirnya aku mengangguk. Begitu mengangguk, Galan langsung menarik tanganku ke sebuah stan di dekat panggung tetapi cukup ramai dengan anak-anak OSIS yang beristirahat. Mereka semua langsung berdiri begitu melihat Galan. Tatapan mereka memancarkan pertanyaan terutama karena tangan kita bergandengan. Tidak, maksudku karena Galan menggandeng tanganku.

"Duduk sini, ya." Galan tersenyum lebar saat memberiku kursi kosong. Ketika aku duduk, Galan kembali bertanya, "Kamu bisa lihat panggungnya kan?"

Aku mengangguk kaku—tiba-tiba merasa tidak nyaman. Terutama karena semua anak yang berada di stan ini menatapku aneh.

"Aku mau ngecek sound system dulu. Kamu mau kan nungguin aku?"

TRULY DEEPLY (REVISED)Where stories live. Discover now