13. Syarat Dari Hendra

212 35 4
                                    

"Kamu mau pulang, Rim?" tebak Ali ketika melihat istrinya tengah berkemas.

Sudah hampir satu pekan hari Elma dirawat di rumah sakit. Ali dan Rima bergantian menjaga anak itu. Ali kebagian menunggu malam, sedangkan Rima bertugas menjaga siang. Mereka tidak menjaga bersama karena ada Alma  yang juga mesti diurus.

"Iya." Rima mengangguk pelan, "takutnya Alma nangis kalo aku kelamaan di sini."

Ali mengizinkan dengan anggukan. Pria itu mendekati istrinya, lalu mendekapnya erat.

"Maafkan aku," ucap Ali merasa bersalah.

Rima melepaskan pelukan suaminya dengan heran. "Minta maaf untuk apa?"

Ali menggeleng sedih. "Aku sudah nyari pinjaman ke sana-sini, tapi nyari duit dua puluh juta itu susah," tuturnya terdengar putus asa. Sebagai seorang pemimpin rumah tangga, dua merasa gagal dan tidak berguna.

"Jangan ngomong seperti itu." Rima mendongak untuk menatap wajah suaminya dengan lekat. Jemarinya terulur untuk mengusap kaca-kaca di manik Ali. "Kamu sudah berikhtiar ke mana-mana, sekarang giliran aku."

"Memang siapa yang mau kamu pintar tolong?"

"Aku akan menemui Pak Ardi." Rima menyebut nama manajer Butter Kafe, "aku akan meminta bantuannya untuk menemani aku menemui Pak Jodi." Kini dia menyebut nama pemilik kafe.

"Apa aku perlu menemani?" Ali menawarkan diri dengan cepat.

"Gak usah." Rima menolak pelan, "kalo kamu ikut pergi, Elma sama siapa?" tuturnya seraya menoleh ke arah brankar. Putrinya tengah terlelap. Kondisi Elma masih lemah. Masih suka keluar darah juga dadi hidung.

"Kamu benar." Kini Ali menggenggam tangan Rima, "aku doakan semoga ikhtiar kamu lancar."

"Aamiin." Bibir Rima melengkung.

Dia mencium punggung tangan Ali. Perempuan itu juga mengecup puncak kepala Elma. Setelah mengucap salam, Rima baru melangkah keluar kamar.

Perempuan itu terus melangkah menyusuri koridor rumah sakit. Dalam setiap derap langkahnya, bibir Rima merapalkan doa. Dia sangat berharap pada manajer atau owner tempatnya bekerja bisa membantu. Rima benar-benar tidak tega ketika mendengar putrinya merintih kesakitan.

Rima sudah tiba di tepi jalan. Tidak lama berdiri melintas sebuah bus. Wanita itu masuk. Bus yang ramai penumpang membuatnya harus rela berdiri dan berdesak-desakan dengan penumpang lainnya.

Dalam keramaian seperti ini, hari Rima dilanda hampa. Ada kegelisahan yang mendera hati. Takut jika dirinya tidak bisa mencari pinjaman.

Tidak terasa Rima telah sampai di tujuan. Perempuan itu turun dari bus.  Langkahnya tergesa masuk ke kafe. Beberapa karyawan yang berpapasan dengannya menyapa.

Di panggung Nita dan kawan-kawannya tengah bersiap. Life musik memang di mulai nanti selepas maghrib hingga kafe tutup nanti jam sebelas malam. Seusai melambai pada kawan-kawannya, Rima menaiki tangga. Kantor Pak Ardi memang berada di lantai dua.

"Masuk!" suruh Pak Ardi dari dalam begitu Rima mengetuk pintu ruang kerjanya.

Rima membuka kenop pintu. Wanita itu mengangguk ramah begitu Pak Ardi memandangnya.

"Hei, Rim." Pak Ardi menyapa dengan hangat juga.

Dibandingkan dengan kedua penyanyi lainnya, Rima adalah kesayangannya. Apalagi kebanyakan pelanggan kafe ini adalah penggemar Rima. Wajar jika Pak Ardi memperlakukan Rima layaknya anak emas.

"Gimana ... anak kamu sudah sembuh?" tanya Pak Ardi begitu Rima duduk di hadapannya.

Rima sendiri hanya menggeleng sendu.

Gadis Pemandu KaraokeWhere stories live. Discover now