6. Kehidupan yang Lain

264 52 2
                                    

(Pov Alma)

"Almaaa!"

Suara cempreng itu benar-benar memekakkan telinga. Aku menutupnya dengan bantal.

"Ayo bangun atau mau aku siram!"

Aku merubah posisi. Dari tidur miring menjadi tengkurap. Mata ini masih teramat berat. Maklum saja aku baru tidur beberapa jam saja.

BYURRR!

Ancaman itu benar-benar terjadi. Nenek lampir itu mengguyur tubuhku. Dia tidak peduli baju dan kasurku menjadi basah karenanya.

Mau tidak mau aku membuka mata. Saat membalikkan badan sosok perempuan berwajah tegas tengah menatapku sengit.

"Ada apa, Bu?" tanyaku pelan. Perlakuan seperti ini sudah biasa aku dapatkan dari dulu.

"Bangun dan lakukan tugasmu!" titah perempuan berseragam pabrik itu dengan ketus.

"Baik." Aku menyahut tenang.

"Ya sudah cepat bangun!"

Setelah berteriak lantang, perempuan yang sudah menjadi ibu sambungku selama lima belas tahun itu berlalu. Pintu kamarku yang sudah tua, ia banting dengan cukup keras.

Aku menghela napas. Andai punya banyak uang, aku ingin hengkang dari rumah ini. Kuajak Ayah serta kedua adikku untuk menjauh dari perempuan bengis itu.

Aku mendongak ke dinding. Sudah pukul tujuh lewat lima belas menit pagi. Pantas jika perempuan itu mengomel-ngomel.

Semalam karaoke tempat berkerja cukup ramai. Banyak pria-pria berduit menghabiskan waktu dan uangnya untuk mencari hiburan. Aku bahkan dapat banyak pelanggan.

Bonus pun berlimpah. Begitu juga dengan tip yang didapat. Namun, aku tidak bahagia. Karena waktu pulangku jadi kian larut.

Aku sampai rumah tepat saat adzan subuh berkumandang. Di saat orang lain bangun tidur dan memulai kehidupan. Aku baru saja mau merehatkan badan.

Sekarang di saat kepala ini masih terasa pening. Aku harus bangun untuk mengerjakan tugas rumah.

Aku berjalan menuju dapur. Di ruang tengah kedua adikku tengah berleha-leha. Keduanya asyik bermain game online. Rayan rebahan di sofa, sedangkan Rayi lesehan di lantai.

Keduanya anak kembar. Bedanya tujuh tahun dariku. Walau pun keduanya anak si lampir, tetapi aku sangat menyayangi mereka.

"Mbak Alma buat sarapan dong! Laper nih," suruh si Rayan begitu menyadari kehadiranku.

"Nasi goreng ya, Mbak."

Adiknya Rayi menimpali seraya mengelus perutnya. Hari Sabtu begini keduanya libur. Sekolah mereka menetapkan lima hari belajar.

Aku sendiri hanya mendengkus mendengar perintah Rayan dan Rayi. Walau begitu tetap kupenuhi permintaan mereka. Demi keduanya dan Ayah, aku rela banting tulang. Siang bekerja di Butter Kafe, malamnya jadi pemandu karaoke di Heaven Karoke.

Di sini aku tidak bekerja sendirian. Istri Ayah pun ikut mencari nafkah sebagai tenaga pabrik harian lepas. Penghasilannya yang masih di bawah UMR hanya cukup untuk makan.

Gadis Pemandu KaraokeWhere stories live. Discover now