3. Mencari Jejak

313 50 4
                                    

"Elma!"

Aku tersentak. Saat berpaling, sosok Nenek sudah berdiri anggun di belakang. Matanya menatapku datar.

"Ngapain kamu ada di situ?" tegur Nenek sambil melipat tangan di dada, "lagi nguping pembicaraan orang?"

Suara Nenek yang cukup lantang membuat Mama dan Papa menyadari kehadiran kami.

"Elma?" Mama mendekat, "dia kenapa, Bu?" tanya Mama pada Nenek dengan sopan.

"Dia kedapatan curi dengar pembicaraan kalian," sahut Nenek tanpa senyum, "apa di Surabaya dulu, kamu gak pernah ngajari Elma sopan santun?"

Tuduhan Nenek membuat Mama langsung melirik ke arahku. "Elma, benar apa kata Nenek kamu?" cecarnya serius.

"Eum ... aku gak sengaja, Ma. Niatnya tadi cuma mau ambil air, gak tahunya Mama dan Papa lagi bicara serius," terangku jujur.

"Aku sama sekali gak berniat mencuri dengar pembicaran kalian, hanya saja ...."

Omonganku terjeda untuk mengambil keputusan. Sudah lama aku penasaran dengan sosok pria bernama Ali itu. Baiklah sepertinya ini waktu yang tepat untuk menanyakannya.

"Aku kembali mendengar kalian menyebut nama Ali," lanjutku kemudian. Kulihat wajah Mama dan Papa tampak tegang. "Dan aku mendengar sendiri saat Papa bilang bahwa aku punya hubungan darah dengan laki-laki itu."

Papa ternganga kaget. Detik berikutnya dia langsung menggeleng. "Gak, kamu salah dengar, El." Papa menyangkal dan langsung mendekat. Tangannya meraih kedua jemariku dengan lembut.

"Ali itu bukan siapa-siapa. Dia hanya orang di masa lalu Mamamu. Sampai saat ini Papa masih cemburu kalo mengingat dia," tutur Papa berusaha meyakinkanku.

"Kupingku masih sehat, Pa, masih jelas menangkap," sahutku datar sambil melepas pegangan tangan Papa. Perlahan aku menarik napas dalam-dalam. "Kalian baru saja menyebut nama Ali lagi. Nama yang sudah tidak asing lagi di telingaku. Sayangnya setiap kali nama itu disebut, selalu saja berkaitan dengan aku. Bukan dengan Bio. Atau jangan-jangan, selama ini aku memang bukan anak kandung Papa?"

"Elma, jaga mulutmu!" sergah Mama keras.

Aku berpaling pada wanita pertengahan empat puluh yang masih terlihat cantik itu. "Ma, katakan dengan jujur siapa ayah kandungku?" mohonku dengan mengguncang tangan Mama.

"Pertanyaan macam apa itu?" Mama balik tanya dengan tatapan tajamnya, "jelas-jelas kamu itu anaknya Papa. Di akta kelahiran terpampang jelas kalo nama papamu adalah Hendrawan. Bukan orang lain," tandasnya cukup tegas.

"Elma sudah dua puluh tahun lebih. Sudah saatnya dia tahu yang sebenarnya." Nenek berujar dengan tenang. Setelah itu dirinya melangkah pergi meninggalkan kami.

"Tunggu, Nek!" Aku berseru.

Namun, Nenek tidak juga menghentikan langkahnya. Perempuan dengan rambut bersanggul kecil itu terus menderap. Terpaksa aku menyusul, lalu meraih tangannya.

"Jika Nenek tahu yang sebenarnya mengenai jati diri aku, kenapa Nenek tidak langsung memberi tahukannya padaku?" protesku cukup berani.

Nenek menatapku intens. "Itu bukan kewajibanku, tapi itu kewajibannya dia." Nenek mengarahkan dagunya pada Mama. Kemudian dirinya kembali berlalu.

Gadis Pemandu KaraokeWo Geschichten leben. Entdecke jetzt