Penjelasan Andika membuat setetes air mata jatuh di pipi Dayita. Tak kuasa menahan isakan yang menumpuk di dada. Hadirnya Jenggala memang tak pernah terlihat nyata di matanya, namun mengapa saat anak itu hendak pergi, ia merasa sangat terluka?

Bukan hanya Dayita, Nuraga mematung di tempat. Kini Andika adalah pria kaya yang hampir memiliki segalanya. Bukan pria pecundang seperti dulu. Dan jika ia nekat mempertahankan Jenggala, ia yakin, tetap Andika adalah pemenangnya.

"Jika kalian ingin bertemu dengan Jenggala, silahkan. Nikmati sisa waktu kalian, sebelum saya benar-benar membawa dia pergi." ucap Andika, lagi. Kemudian tanpa menunggu kedua pasang suami-istri itu menjawab, Andika beranjak pergi.

Di balik lorong panjang, berjarak sekitar tiga meter dari mereka, Daksa mendengar semuanya. Tangan remaja itu mengepal, marah dan rasa yang bercampur aduk di dadanya membuat pandangan Daksa menajam.

◖◖◖

"La, kamu sudah bertemu dengan Papa Andika?" tanya Dayita yang saat ini tengah duduk di tepi ranjang Jenggala. Seraya mengusap lengan Jenggala yang membengkak akibat memar karena sempat tergores aspal.

Jenggala mengangguk pelan, "Sudah. Dan Papa juga sudah jelaskan semuanya. Papa ajak aku tinggal di luar negeri."

Untuk sejenak, Dayita kehilangan kata-katanya. Menatap sendu pada jemarinya yang menari di atas lengan putih Jenggala.

Merasa tak ada jawaban dari Dayita, Jenggala menoleh. Menatap lekat mamanya yang hanya menunduk dalam. "Mama kenapa?" tanyanya kemudian.

Nuraga yang sejak tadi duduk di seberang Dayita tak berani membuka suara. Sama seperti Dayita, Nuraga juga telah kehilangan kata.

Akhirnya Dayita mendongak, menatap Jenggala seraya tersenyum teduh. Jenggala bahkan sempat terkejut. Karena selama ini, sangat mustahil melihat senyum indah mamanya.

"Jenggala setuju untuk tinggal di luar negeri?"

Diam sejenak, setelah itu Jenggala kembali mengangguk. "Dari dulu, Mama dan Papa memang selalu minta aku pergi, kan? Nah, mungkin sekarang saatnya aku pergi."

Jawaban Jenggala lagi-lagi membungkam sepasang suami-istri itu. Dayita menggigit bibir bawahnya mati-matian, menahan air mata yang siap tumpah saat ini juga. Sedangkan Nuraga mengepalkan tangannya dengan penuh sesal.

"La, Mama nggak siap kamu pergi. Tetap di sini, mau, ya?"

"Ma, tolong ijinkan aku bahagia dengan Papa Andika. Dulu aku selalu minta sama Mama dan Papa untuk nggak buang aku, tapi kalian nggak mau dengar. Sekarang ijinin aku untuk egois, ya, Ma?"

"Tapi Mama bakal kangen sama kamu, La ...,"

"Nanti Mama bisa dateng ke rumah aku."

"Tapi Mama nggak bisa setiap saat datang, La. Mama nggak bisa. Sekarang Mama sadar, Mama takut kehilangan kamu."

"Ma," Jenggala meraih tangan Dayita. Membawa tangan lembut mamanya ke dalam genggaman. "Asal Mama tau, dengan kepergian aku, itu membuat keluarga Mama kembali seperti sebelumnya. Bang Sahmura dan Daksa nggak perlu lagi cari perhatian untuk mendapat kasih sayang kalian sepenuhnya. Semua akan baik, tanpa aku, Ma."

◖◖◖

"Pa, tolong janji sama aku."

Andika yang sangat ini tengah memeluk tubuh kurus Jenggala, lantas merunduk. Melihat wajah putranya yang masih pias. Sebenarnya luka Jenggala tidak terlalu serius, namun dokter menyarankan agar Jenggala di rawat karena kondisi fisiknya yang lain.

"Janji apa, Nak?" tanya Andika dengan lembut. Terlalu berhati-hati, takut bila suaranya akan menyakiti sang buah hati.

Sebelum menjawab, Jenggala mengulas senyum tipis. Senyum yang tak mampu dilihat oleh Andika dari posisinya saat ini. "Tolong janji, jangan pernah buang aku. Kalau Papa kesel sama aku, tolong kasih tau, kalau perlu marahin aja aku. Tapi tolong, jangan buang aku." ucapnya.

Lantas Andika terdiam seribu bahasa. Bersama dengan detak jantung yang menggila. Tatapan Andika mengarah pada jendela yang terbuka, menampilkan langit malam yang membentang jauh di angkasa.

Bukan Andika tak mampu berjanji, namun lebih dari itu, ia tak sanggup membuka suara. Karena kalimat Jenggala berhasil menoreh luka yang teramat dalam di hatinya.

Teringat bagaimana selama ini ia bahkan enggan mengakui bahwa Jenggala adalah buah hatinya sendiri. Hanya karena ego, ia menyia-nyiakan semuanya.

"Pa?" Lagi, suara Jenggala membuat Andika tersentak kali ini. Pria itu buru-buru tersenyum, menyembunyikan gurat gelisah di wajahnya.

"Papa janji! Papa nggak akan pernah buang kamu, Nak." katanya dengan sungguh-sungguh.

"Makasih. Aku cuma punya Papa." Lantas Jenggala memeluk pinggang Andika erat-erat. Menyalurkan semua kerinduan yang membendung selama ini.

Tak perlu Jenggala tanya apa alasan Andika setega itu saat meninggalkan ia dan ibunya dulu. Tak perlu ia tahu mengapa alasan Andika baru sekarang mencarinya.

Karena yang perlu ia tahu, saat ini, Tuhan sudah menjawab semua doanya. Doa yang selama ini ia panjatkan, doa yang ia bisikkan pada langit di tengah malam.

Papanya datang, membawa ketenangan dan memberikan rumah yang selama ini ia dambakan. Walau tanpa sosok perempuan yang melahirkannya, Jenggala merasa cukup dengan kehadiran sang papa.

Malam itu Jenggala habiskan dengan memeluk Andika se-erat mungkin. Takut, jika sosok papanya akan hilang bila pelukannya melonggar.

Malam itu, juga Andika habiskan dengan memeluk putranya. Melingkarkan tangannya pada tubuh Jenggala. Melindungi sang putra dari dinginnya dunia.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hallo, hallo, aksara dan Jenggala di sini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hallo, hallo, aksara dan Jenggala di sini. Kalian apa kabar? Bagaimana harinya hari ini?

Sebenarnya kemarin mau update, cuma sinyal tidak mendukung. Jadi hari ini aja. Semoga menikmati bab kali ini, ya.

Segini dulu, kapan-kapan kita ketemu lagi. Byeee ♡♡

Dunia khayalan,
16 Mei 2022

|✔| Kedua Where stories live. Discover now