"Gue ngecewain semua orang. Gue benci sama diri gue sendiri." Jenggala memotong ucapan Sena.

"Stop, La!" Bukan Sena atau pun Tama, melainkan Sahmura yang baru saja menyentak Jenggala. "Ini bukan salah lo, bukan ...,"

"Bang," Sorot mata penuh luka Jenggala menatap Sahmura. "Semua sia-sia. Semua mimpi gue sia-sia. Pertandingan ini penting buat gue, lo tau, 'kan? Sekarang gue gagal! Gagal bahkan sebelum gue memulai! Gue benci sama takdir ini, Bang! Gue benci Daksa!"

"D-Daksa?" Sahmura bergumam tak percaya. "Maksud lo apa?"

Tangis keras Jenggala menggema di ruangan yang hening ini. Sena dan Tama meremat tangan mereka masing-masing. Tak mampu bersuara apa-apa.

"Daksa jahat! Lo jahat! Arggh, gue benci sama lo!" Bukannya menjawab pertanyaan Sahmura, Jenggala justru berteriak histeris. Memukul kepalanya sendiri.

Tindakan Jenggala langsung dihentikan oleh Sahmura dan Tama. Sahmura memeluk tubuh bergetar adiknya dengan erat, sedangkan Tama mencekal tangan anak itu.

Sena berusaha menahan tangisnya yang siap pecah. Untuk pertama kalinya, dia melihat kerapuhan seorang Jenggala. Diam-diam, Sena mengepalkan kedua tangannya.

"Bang ... dia jahat! Dia udah ambil semuanya! Dia ambil mimpi gue, Bang!" adu Jenggala.

Sahmura masih belum bisa mengerti situasi, jadi cowok itu hanya mengangguk sesekali mengusap kepala adiknya. "Nanti gue kasih dia hukuman." katanya.

"Sen, tolong panggil dokter." Tama berucap. Sena buru-buru keluar, untuk memanggil dokter.

Tak lama kemudian, seorang dokter dan satu perawat datang. Dokter tersebut nampak menyuntik sesuatu ke tubuh Jenggala, sampai anak itu lemas dan jatuh tertidur.

"Pasien mengalami stress dan trauma. Jadi lebih baik, sekarang pasien beristirahat. Jika keadaan mental pasien belum membaik, maka kami menyarankan pasien di bawa ke psikiater." kata dokter tersebut menjelaskan keadaan Jenggala.

"Baik, terimakasih, Dok." Satu-satunya orang yang masih mampu menahan kewarasan disana menjawab. Tama, kemudian mengantar dokter itu keluar.

Tatapan Sahmura mengarah pada Tama dan Sena secara bergantian. "Kalian pasti tau sesuatu. Kasih tau gue, apa maksud Jenggala barusan? Kenapa dia nyebut nama Daksa?"

"Lo mau tau, Kak?" tanya Sena yang kini duduk di tepi ranjang Jenggala.

"Iya."

Nampak Sena mengetik sesuatu pada ponselnya. Setelah beberapa detik, Sena mendongak, menatap Sahmura lekat-lekat. "Silahkan lihat video yang baru aja gue kirim."

Tanpa menunggu lama, Sahmura membuka video tersebut. Dunia seolah berhenti berputar saat video berjalan di menit kedua. Sahmura merasa tubuh dan tulangnya beku.

"I-ini?"

"Daksa merencanakan penyerangan untuk Jenggala. Dia sengaja menyewa preman untuk pura-pura mengeroyok dia, agar Jenggala datang. Dan setelah Jenggala datang, preman itu pura-pura melepaskan Daksa." jelas Tama. "Bener. Semua ini direncanakan oleh adik kandung lo sendiri."

Sahmura hanya menatap kosong layar ponselnya yang kini perlahan redup. Sejauh ini tindakan Daksa?

◖◖◖

Daksa menatap hamparan kosong langit malam ini. Tidak ada bintang, tidak ada bulan, namun langit tetap terlihat cerah. Dengan seragam sekolah yang masih membalut, Daksa duduk di kursi taman sejak satu jam yang lalu.

Keheningan melanda, ketenangan yang memang Daksa cari. Jauh dari hiruk-pikuk dunia dan bisingnya suara-suara dari keluarganya.

|✔| Kedua Where stories live. Discover now