Jenggala tiba di rumah sebelum pukul delapan. Dan kini dirinya sudah mengenakan pakaian santai, hendak turun untuk mencari makanan yang sekiranya bisa mengganjal perut.

Namun saat langkah kakinya menginjak anak tangga terakhir, tatapan dingin sang papa membuat Jenggala berhenti.

"Kenapa, Pa?"

"Dimana adik kamu?" tanya Nuraga.

Mendapat pertanyaan demikian, kedua alis Jenggala berkerut bimbang. "Aku nggak tau. Lagian seharian ini aku nggak ketemu dia."

"Mana mungkin? Tadi dia bilang sama Papa, akan menemani kamu latihan sampai larut malam."

Jenggala telak bungkam. Lagi-lagi Daksa menggunakan namanya untuk lolos dari pengawasan Nuraga. Sungguh, kali ini Jenggala benar-benar muak.

"Pa, maaf, Daksa baru pulang. Tadi Jenggala ternyata pulang duluan, dan nggak bilang sama aku." kata Daksa yang baru saja tiba. Anak itu masih mengenakan seragam di balut oleh jaket hitam.

Tanpa rasa bersalah, Daksa menyalami tangan Nuraga dan tak menoleh ke arah Jenggala sedikit pun.

"Dia bohong, Pa. Tadi aku latihan sendiri, dan Daksa juga nggak ada bilang apa-apa kalau mau temenin aku latihan." Jenggala buka suara, berusaha membela dirinya kali ini. Berharap jika Nuraga akan sedikit mengerti dan mulai mempercayainya.

Namun Jenggala kembali di patahkan. Nuraga justru melayangkan tatapan tajam. "Nggak tau berterimakasih. Sudah ditemani, malah balik menyalahkan. Harusnya kamu makasih sama adik kamu, karena udah menemani kamu latihan. Kamu ini kenapa, sih, Jenggala?"

Tangan Jenggala mengepal. "Bukan aku yang kenapa. Tapi Papa yang kenapa? Papa nggak pernah percaya sedikit pun sama apa yang aku ucapin."

"Itu karena kamu memang selalu mengecewakan!"

"Aku tau. Tapi apa salahnya dengerin penjelasan dari aku? Jangan apa-apa ambil kesimpulan sendiri."

"Jadi kamu menggurui Papa?" Nada suara Nuraga mulai berubah. Suara bariton tersebut terdengar lebih dingin dari biasanya.

Dayita datang dengan langkah tergesa-gesa mendekati anak dan suaminya yang tengah berdebat. "Pa, ada apa, sih?"

"Anak kamu ini! Ajarkan anak kamu sopan santun!" Telunjuk Nuraga menunjuk Jenggala dengan penuh amarah.

Dayita ikut mengalihkan pandangan ke arah putra keduanya. "Ada apa Jenggala?"

"Mama tanya aja sama anak kesayangan Mama. Kebohongan apa lagi yang sudah dia buat kali ini." jawab Jenggala tanpa rasa takut.

Saat ini Jenggala sadar, jika ia tidak bisa tegas, dirinya akan terus terinjak dan disalahkan. Karena di sini, ia tidak memiliki siapa-siapa, kecuali dirinya sendiri.

"Kenapa, Sa?" Kali ini Dayita bertanya pada si bungsu.

Daksa menatap mamanya dengan pandangan berkaca-kaca. "Jenggala nyalahin aku, padahal dia sendiri yang salah. Tadi aku temenin dia latihan, tapi dia pulang duluan tanpa bilang sama aku. Aku nungguin dia selama setengah jam, Ma."

"Bohong! Aku sama Daksa bahkan nggak ngobrol apa-apa seharian ini, Ma!" sahut Jenggala.

"Lo yang udah bohong dan nyiptain drama lo sendiri. Stop, Jenggala, stop bersikap kekanak-kanakan!" Ucapan Daksa kali ini membuat Jenggala menatap tak percaya ke arahnya. Ini sudah melebihi batasan.

|✔| Kedua Where stories live. Discover now