Jenggala menatap pantulan dirinya di cermin. Lemah. Jenggala memaki dirinya sendiri.

"Kakek, maaf. Maaf karena nggak bisa menjaga pemberian Kakek dengan baik. Tolong jangan marah ke aku, Kek."

Satu-satunya orang yang paling mengerti dirinya adalah sang kakek. mendiang kakeknya yang sudah ia anggap sebagai rumah ketika ia lelah dengan dunia. Hanya kakek yang mampu mengerti dirinya.

Ketika kakek meninggal beberapa tahun lalu, semua hancur. Dunianya seolah berhenti begitu saja. Apalagi saat papanya meminta ia untuk pulang, Jenggala tahu, bahwa semua tidak akan pernah baik-baik saja.

Sejak ia berusia lima, kakek adalah orang yang merawatnya. Saat mama sibuk dengan bisnis dan Sahmura, saat papa sibuk memenangkan kerjasama sekaligus mengurus Daksa, ia dititipkan di rumah kakeknya.

Entah mengapa, Jenggala juga tidak mengerti. Sampai lima tahun berlalu, mereka bahkan tidak menjemputnya pulang. Sampai mendapat kabar meninggalnya kakek, baru lah mama dan papanya datang lalu mengajaknya pulang.

Di rumah ini, Jenggala tak bisa mendapat kenyamanan seperti yang ia rasakan di rumah sederhana kakek. Tidak ada dongeng di tengah malam, tidak ada usapan halus tangan kakek, semua berbeda. Mereka semua, sangat-sangat berbeda.

Puas menangis, Jenggala menyelesaikan mandinya dengan cepat. Setelah mengenakan pakaian yang sudah disiapkan oleh salah satu asisten rumah tangannya, Jenggala berjalan menuju ke kamar. Melewatkan makan malam yang sudah terlaksana tanpa dirinya.

Mereka semua sudah berkumpul di meja makan tanpa sadar, bila sosok Jenggala melewati mereka begitu saja. Satu-satunya yang melihat punggung Jenggala adalah Sahmura.

Si sulung menatap punggung itu dengan raut tak terbaca. Sejak pulang tadi, Sahmura selalu kepikiran tentang adiknya yang satu itu. Seolah ada rasa bersalah besar yang ingin cepat-cepat ia akui.

"Kenapa, Bang?"

Menyadari bahwa si sulung tidak melakukan pergerakan apa-apa, Dayita bertanya. Semua pasang mata kini menatap ke arah Sahmura.

"Nggak apa-apa, Ma." jawab Sahmura.

"Yakin? Kamu nggak sakit, 'kan?"

"Enggak." Kemudian Sahmura mencoba menatap sorot teduh mamanya. "Kenapa kita nggak nunggu Jenggala dulu, Ma?"

"Kita buru-buru, Bang. Harus cepat sampai ke acara."

Malam ini, ada rekan kerja Nuraga yang melakukan pesta menyambut kelahiran anak kedua mereka. Dan Nuraga serta Dayita mendapat undangan.

Karena mereka sudah berkecimpung di dunia bisnis, sehingga keduanya berniat mengajak Sahmura serta Daksa. Bukannya tidak mau mengajak Jenggala. Beberapa tahun lalu, mereka sempat mengajak putra kedua mereka itu, namun justru malu yang mereka dapat.

Di pesta itu, Jenggala membuat keributan hingga menyita perhatian banyak orang. Seandainya mereka tahu mengapa Jenggala berbuat demikian, apakah mereka masih akan menyalahkannya?

"Setelah ini kita langsung berangkat."

Ucapan Nuraga langsung membuat ketiga orang berbeda usia itu cepat-cepat menghabiskan makanan mereka. Karena pesta mungkin akan berlangsung sampai tengah malam, makanya Nuraga menyuruh anak dan istrinya untuk makan malam terlebih dahulu di rumah.

Sebelum menyusul langkah Nuraga dan Daksa yang sudah berjalan lebih dulu, Dayita beranjak pergi ke kamar putra keduanya. Mengetuk pintu berwarna cokelat itu dengan tidak sabaran.

Sosok Jenggala muncul dengan rambut yang masih basah, serta tatapan kuyu dan lelah. "Mama?"

"Mama, Papa, Sahmura dan Daksa mau pergi dulu. Kamu di rumah baik-baik."

"Pergi?"

"Ke pesta perayaan rekan kerja papa kamu."

Jenggala mengangguk pelan. "Iya, Ma."

"Yasudah, Mama berangkat dulu."

Belum saja Jenggala membuka suara, Dayita sudah melangkah pergi dari sana dengan tergesa-gesa. Jenggala masih berdiri di tempat yang sama, menatap punggung mamanya yang perlahan menghilang.

Tak perlu bertanya mengapa mama tidak mengikutsertakan dirinya, karena ia sendiri sudah tahu alasannya apa. Tentu saja karena mama dan papanya akan malu bila mengajak dirinya.

Kejadian dua tahun lalu mungkin tidak akan pernah bisa mama dan papanya lupakan. Ia telah membuat kekacauan di pesta teman kerja papanya.

Padahal, ia memiliki alasan besar mengapa sampai melakukan hal itu. Itu semua karena pria yang telah menghina keluarganya, termasuk mendiang sang kakek.

Tentu saja ia tidak terima dan langsung melayangkan pukulan ke wajah pria itu. Semua orang memekik kaget karena ulahnya yang sudah membuat kebisingan. Jangan salah, walau tubuhnya kurus kecil, Jenggala adalah atlet taekwondo, pukulan yang ia berikan kepada pria itu tentu saja tidak main-main.

Terbukti, pria itu mengalami pembengkakan pada rahang wajahnya sehingga papanya harus mengganti beberapa biaya pengobatan.

Sejak saat itu, tidak ada yang pernah tahu, bahwa Nuraga dan Dayita memiliki putra kedua bernama Jenggala. Karena memang sejak kecil, Jenggala jarang diperkenalkan oleh kedua orang tuanya.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


(Lihatlah wajah polos tak berdosa anak ini ಥ‿ಥ)


Dunia khayalan,
14 Maret 2022

|✔| Kedua Where stories live. Discover now