23. IAH - Cinta atau Nafsu?

Start from the beginning
                                    

Iqbal menggigit bibir bawahnya dengan diam-diam melirik ke dalam sana. Terlihat, Imam. Lelaki itu kini bersembunyi dibalik dinding mengintipnya dengan lelaki itu.

"Dan, Bal. Tolong, kalau lo dapat info apapun itu tentang beliau, kabarin kita, ya? Kita rindu banget sama dia. Kita yakin, dia sembunyi nggak jauh dari sini."

Lelaki itu kini mengernyit heran ketika raut wajah Iqbal tiba-tiba tampak cemas, seperti tidak terlalu memperhatikannya.

"Bal, lo denger, nggak, sih?"

"Hah?"

Lelaki tergelak. "Gue ngajak lo ngobrol, lo denger, nggak? Lihatin apaan sih?" lelaki itu menatap ke arah yang Iqbal perhatikan dari tadi. Namun tak ia temukan apa-apa di sana.

"Nggak. Nggak, gue nggak lihatin apa-apa. Tadi.. Lo ngomong apa? Bisa diulangin, nggak?"

"Kalau lo..., tau info tentang beliau, kabarin kita, ya?"

Iqbal menganggukkan kepalanya. "Iya. InsyaaAllah, ya. Pokoknya semangat terus untuk kalian."

Lelaki itu mengaamiinkan. "Oh, iya? Btw, lo tahu kabar tentang mantan lo, nggak?"

"Kenapa sama dia?"

•••

Usai pekerjaan Imam selesai, Imam dan Iqbal kini berniat ingin menjemput Alisha pulang sekolah. Kata Alisha tadi pagi, ia ingin dijemput jam 15.00 sore. Kedua lelaki itu pun setuju, dan kini mereka pun menuju ke sekolah Alisha.

Imam menghentikan mobilnya di gerbang sekolah. Terlihat, bahwa sekolah itu sudah tampak sepi. Tidak ada siswa-siswi lagi yang berkeliaran di sana.

"Nunggu di mana Alish, Ma?"

Imam. Lelaki itu menggeleng dengan fokus menatap sekitar sekolah. "Kelihatannya tidak ada di sekolah, Bal. Apa mungkin dia pulang lebih dulu bersama kedua sahabatnya?" ujar Imam, mencoba untuk berpikir positif.

"Mungkin, sih. Tapi, kan, dia bilang tadi pagi, kalau kita yang jemput?" nada Iqbal kali ini sedikit kesal.

"Atau mungkin dia pulang cepat, dan menunggu kita terlalu lama?"

Iqbal berdecak mendengar itu. "Coba lo telepon aja, Ma." Pinta Iqbal.

Imam pun mengangguk dengan mengeluarkan handphone dari saku kemejanya. Ia mengetik sesuatu di sana dalam beberapa menit.

"Gimana, Ma?"

"Dia sedang ada di taman." Imam kembali meletakkan ponselnya kembali di saku.

"Hah? Taman? Sama siapa dia ke sana? Emang gak izin sama lo dulu sebelum ke sana?"

Mendengar pertanyaan Iqbal yang terlalu banyak itu, ia hanya bisa menjawab dengan gelengan pelan. "Tidak. Dia tidak mengabari saya."

Iqbal segera saja membuang wajahnya ke arah kaca luar mobil. "Nggak sopan kamu, Al. Awas aja."

Imam sontak menoleh ke arah Iqbal ketika ia mendengar jelas ucapan pelan dari Iqbal itu. "Dengar, saya tahu dia itu adikmu. Tapi sekarang, dia telah menjadi istri saya. Jadi, kalau kamu berani menyakiti istri saya, maka lawanmu adalah saya, Iqbal."

Iqbal melirik lelaki itu malas. "Ya tapi dia nggak sopan, Ma. Harusnya dia izin dulu dong sama lo? Meski gue kayak gini, gue paham tentang pernikahan. Mana kewajiban istri dan mana kewajiban suami. Dan..., mana juga yang harus seorang istri itu jaga. Mending besok lo suruh dia keluar dari sekolah. Lagian dia udah jadi istri, kan? Biar dia itu juga bisa jaga iffah, izzah, dan maruah nya sebagai seorang perempuan. Bisa-bisanya dia keluar ke taman yang ramai kayak gitu nggak bilang sama lo dulu? Sama siapa coba dia?"

IMAMA AL-HAFIDZHWhere stories live. Discover now