(22) mereka orang tua kandung Arka

5 1 0
                                    

Dengan langkah seribu Adi terus melangkahkan kakinya menyusuri koridor rumah sakit yang masih saja ramai di walau hari sudah hampir tengah malam.

Brakk

Adi membuka pintu rawat anaknya dengan keras membuat penghuni kamar itu terkejut.

"Ayah" pagi seorang bocah yang tengah duduk di atas ranjang pesakitan di temani seorang pemuda yang duduk di kursi sisi ranjang.
Adi langsung berlari menghampiri putranya itu memeluk tubuh mungil itu dengan begitu erat seahbia sangat takut kehilangan sosok itu bila ia melepasnya.

"Aku juga ingin merasakan pelukan itu" batin seorang pemuda yang duduk di kursi samping ranjang, ia bangkit merasa kehadirannya sangat menggangu.

"Kak Alka" langkahnya terheti kala suara bocah cadel itu.

"Kak Alka mu manah, kan celitanya belum celecai" ucap Noval yang tak rela pemuda itu pergi.

"Ini sudah malam ceritanya lanjut besok aja yah, lagi pula sekarang ada ayah jadi Noval tak perlu takut, oke" ujar Arka tak lupa dengan senyum manisnya.

"Tapi oval mau sama kak Alka" anak itu melompat dari ranjang memeluk kaki jenjangnya Arka, sedangkan Adi pria itu hanya diam memandang anaknya yang terlihat sudah dekat sekali dengan pemuda itu, padahal Noval sangat pemalu dan tidak suka dengan orang asing.
Arka berjongkok menyamakan tingginya dengan Noval terlihat bocah itu mengis tak memperbolehkan dirinya pergi, dengan lembut Arka mengusap air mata Noval tak lupa senyum manis yang tak luntur-luntur sedari tadi.

"Tapi kan Noval harus istirahat sekarang, kak Arka janji besok pagi-pagi sekali kak Arka kesini lagi sekarang Noval tidur yah" bocah berpipi chubby itu pun hanya mengangguk kan kepalanya walau terlihat begitu enggan.

"Sekarang Noval tidur yah, jangan nangis lagi kalo Noval nangis nanti kak Arka juga ikut nangis" ucap Arka sudah seperti kakak kandung Noval.

"Kak Alka jangan angis anti antengnya ilang" Arka terkekeh mendengar penuturan bocah itu yang begitu polos, Arka merangkul anak itu memeluknya erat.
Seketika hati Arka sesak, ia ingin seperti Noval yang selalu medapat perhatian dari kedua orang tuanya mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya tidak seperti dirinya yang hanya seorang diri tak ada yang mempedulikannya apa lagi memberikanya kasih sayang.
Mata Arka menatap Adi yang hanya diam memperhatikan dirinya dan Noval, mata Adi menatap Arka penuh selidik sedangkan Arka hanya menatap sendu pria berseragam polisi itu, tanpa bisa di kontrol air mata Arka meluncurkan bebas namun dengan cepat ia menghapus air mata itu.

"Kalo gitu kak Arka pamit kembali ke kamar kakak dulu yah" Arka mengacak singkat rambut lebat Noval, ia kembali menegakan tubuhnya tersenyum ramah pada Adi.

"Saya pamit dulu om" ucap Arka sopan, sedangkan Adi hanya mengangguk sebagai jawaban, Arka pun segera keluar menutup kembali pintu putih itu, bertepatan dengan itu seorang wanita datang dengan jas putih yang melekat di tubuhnya, wanita itu hedak masuk keruangan Noval namun terhenti kala Arka memangilnya.

"Bunda" pangil Arka, yang di pangil pun berbalik wanita yang tak lain adalah Deva ibu dari Noval itu menatap Arka dengan mata yang berkaca-kaca.

"Apa aku boleh memangilmu dengan sebutan itu?" Tanya Arka ragu pasalnya wany itu terlihat sangat garang bila berhadapan dengan dirinya, entah sepertinya ia tak suka bila Arka berdekatan dengan Noval.

"Terserah kau saja" ucap Deva acuh tak acuh, ia berbalik hendak namun suara Arka kembali menghentikannya.

"Apa bunda tak mengenali diri ku?" Ujar Arka membuat wanita di depannya terheran-heran.

"Tentu aku mengenalmu, nama mu Arka kan" ucap Deva, Arka hanya terdiam bukan itu yang Arka maksud.

"Maaf saya tidak punya banyak waktu untuk mendengan omong kosong mu itu, kalo memang ada yang sakit kamu bisa kasih tau aja dokter lain, soalnya sip saya sudah berakhir" ujar Deva berlalu pergi meningalkan Arka dengan seribu harapnya.
Arka baru saja hedak pergi ke kamar rawatnya tapi kembali berhenti saat netranya menangkap sosok yang begitu tak asing banginnya dan sosok itu adalah ...

Jeno berjalan dengan lusuh, sulit untuk menerima kenyataan yang terjadi semua seperti sebuah mimpi buruk baginya, saat asik menyusuri koridor yang sudah semakin sepi itu, netra Jeno menangkap sosok yang tak asing baginya, yang belakangan ini menghilang begitu saja tak ada kabar atau apa pun, ia terlihat mengenakan piama rumah sakit berjalan dengan sedikit tertatih.

"Devon" pangil Jeno, yang di pangil pun menoleh menatap datar Jeno yang berlari menghampirinya.

"Ngapain Lo di sini?" tanya Devon terdengar begitu dingin dan ketus.

"Ikut gue" tanpa seijin sang empunya Jeno menarik tangan Devon tanpa mempedulikan Devon yang kesakitan.

Jeno menghempaskan tangan Devon kasar setelah mereka sampai di rooftop rumah sakit itu, Jeno nenatap tajam Devon begitu pula sebaliknya, tapi mereka tak sadar sedari tadi ada orang yang mengikuti mereka.

"Mau apa Lo bawa gue ke sini?" Devon kembali bertanya.

"Lo mau bikin drama apa hah?"ucap Jeno, Devon mengernyit bingung tidak mengerti dengan apa yang di bicarakan temanya itu.

"Maksud Lo?"

"Lo kira gue bakal masuk dalam drama Lo itu, udah lah Lo ngaku aja sekarang" ucap Jeno penuh penekanan.

"Lo dateng ke sini tarik-tarikan tangan gue, cuman buat ngomong gak jelas kaya gini buang-buang waktu aja" Devon beranjak untuk pergi namun Jeno kembali menghetikanya.

"Cukup, Lo kan yang udah bunuh Reno" tuduh Jeno, seketika mata Devon membola terkejut mendengar Reno yang katanya terbunuh.

"Maksud Lo Reno __"

Brugg

Belum selesai Devon berbicara sebuah Bogeman mentah mendarat tepat di perutnya, Devon memengagi perutnya yang terasa begitu sakit.

"Cukup Lo jangan buat drama lagi, sekarang Lo ngaku, Lo kan yang udah bunuh Reno" Devon bangkit menatap Jeno.

"Maksud Lo apa?, Lo nuduh gue?"

"Sorry gue bukan tipe orang yang nuduh tanpa bukti" ucap Jeno ia mengeluarkan ponselnya, memperlihatkan video detik-detik pembunuhan yang menimpa kawannya Reno.

"Lo liat, ini akun Lo kan?" Devon mengeleng.

"Gue gak tau, hp gue ilang pas di gedung tua itu" ungkap Devon.

Brugg

Brugg

"Pembohong "

Brug

Brugg

"Bajingan Lo" Jeno membabi buta Devon tanpa mempedulikan kondisi kawanya itu.

Brugg

Devon menedang Jeno membuat pemuda itu tersungkur dengan sekuat tenaga ia bangkit sudut bibirnya sudah mengeluarkan darah, wajah merah padam ia sangat tak terima dengan tuduhan yang di layangkan Jeno.

"Jaga mulut busuk Lo itu, Lo dateng ke sini cuman buat nuduh gue, terus selama ini Lo kemana aja hah, sibuk sama ketakutan Lo sediri?" ucap Devon pedas, pemuda itu memang terkenal dengan perkataannya yang pedas bak cabai.

"Lo tau gue hampir aja mati di gedung tua itu, sedangkan Lo dan yang lainya malah lari gitu aja, di mana hati Lo, Lo sebut kita sahabat?"

"Sahabat apaan ya Lo maksud, Lo cuman manusia pengecut yang penuh kebusukan" wajah Jeno semakin memerah medengar perkataan Devon, dengan amarah yang menggebu-gebu Jeno mendorong tubuh Devon hingga ia terjatuh.

Brak

Jeno terdiam menatap tubuh Devon yang sudah terkapar di bawah sana, Jeno mengeleng tak percaya dengan apa yang telah ia lakukan tubuh gemetar ketakutan, ia menatap sekeliling khawatir ada yang melihat dirinya setelah itu ia berlari meninggalkan tempat itu sebelum ada orang yang melihatnya, namun semua yang terjadi sudah terekam dalam ponsel seorang pemuda yang sedari tadi mengamati Jeno dan Devon.
Pemuda itu segera pergi sebelum Jeno mengetahu keberadaannya ia sedikit berlari menuju satu kamar menutup pintu dengan rapat namun tak lama terbuka kembali pemuda itu telah berganti pakaian dengan setelan serba hitam serta masker dan topi ia segera pergi dari area rumah sakit itu.

BLOOD AND TEARSWhere stories live. Discover now