"Hyung yang paling tahu bagaimana cerdasnya Minwoo. Dia sama sekali tidak menangis, hanya sedikit takut kalau Hyung masih marah." Terdengar helaan nafas dari seberang sana. Hansol tahu Wonwoo menyesal telah membuat anaknya bersedih.

"Seharusnya hyung tidak langsung memarahinya Hansol-ah. Hyung tidak bertanya lebih dulu apa yang membuatnya melukai temannya," ucap Wonwoo lemah.

"Menurutku, Minwoo tidak melukainya Hyung," koreksi Hansol.

"Sepertinya kau benar. Besok tolong antarkan Minwoo sekolah, sepertinya hyung akan tiba sekitar pukul delapan."

"Hyung tidak usah khawatir. Besok aku akan mengantarnya bersama Seungkwan karena Seungkwan sudah berjanji akan mengantarnya besok pagi sekaligus membuatkannya bekal."

Saat sambungan itu terputus, Hansol merebahkan tubuhnya di kasur. Menyusul Minwoo yang sudah begitu lelap.

"Bahkan saat tidur, dia masih tampan dan menggemaskan di saat bersamaan. Aku jadi penasaran seperti apa rupa daddy-nya," monolog Hansol sembari memejamkan matanya.

_________♥_________

Wonwoo tiba di sekolah Minwoo tepat saat anak-anak berhamburan dari kelas. Ia tersenyum melihat kelucuan bocah-bocah seusia anaknya. Membuatnya semakin ingin lekas bertemu dengan buah hatinya. Membayangkan wajah tampan anaknya, membuatnya ingin memeluk erat si kecil yang selama ini selalu menemaninya.

Pergerakan tangan Wonwoo yang akan membuka pintu mobil terhenti. Dadanya berdegup kencang tanpa bisa ia mengontrolnya. Bahkan nafasnya tertahan hingga beberapa detik. Di depan sana, ia bisa melihatnya dengan jelas. Mengenal dengan yakin meski sudah lama tidak melihat wajah itu.

"Mingyu," gumamnya.

Mata tajamnya tidak bisa ia alihkan meski sedetik. Terus memandangi seseorang yang begitu ia cintai bersama dengan seorang anak kecil. Anak yang ia yakini seusia dengan anaknya.

Wonwoo bisa melihat wajah itu lagi. Ia bisa menyaksikan wajah tampan yang tengah menampilkan senyumnya. Membuat Wonwoo hanya mampu diam terpaku di mobilnya.

Mata Wonwoo terpejam. Menarik nafasnya dalam-dalam yang tiba-tiba terasa begitu sesak. Tanpa bertanya, ia tahu bocah berkulit putih itu adalah anaknya. Sangat terlihat kalau Mingyu menyayangi anaknya.

Rasa sesak itu kembali menghampiri hatinya. Rasa sakit yang sudah bertahun-tahun yang sekuat tenaga ia tahan. Meski ia yakin Mingyu sudah bahagia dengan hidupnya, namun tidak bisa dipungkiri hatinya begitu ngilu melihatnya secara langsung. Bahkan setiap detik ia meyakinkan Mingyu tidak akan pernah menjadi miliknya, masih begitu terasa menyakitkan saat kenyataan pahit itu menamparnya.

Tangan putihnya mencengkram setir mobil dengan kuat. Mencoba menyalurkan rasa sakit yang berulang kali menghujam jantungnya. Ia tidak tahu akan sesakit ini saat melihatnya secara langsung. Namun beberapa detik kemudian, ia tertegun. Ingatannya tertuju pada anak semata wayangnya.

"Tidak mungkin. Minwoo tidak boleh melihatnya," batinnya cemas.

Dengan gusar, ia langsung membuka pintu mobil. Mengabaikan kalau saja Mingyu melihatnya. Yang terpenting saat ini adalah buah hatinya. Ia tidak ingin Minwoo merasakan sakit seperti yang ia rasakan. Meski Minwoo hanyalah bocah kecil, namun anaknya begitu cerdas. Ia yakin Minwoo mengerti semua meski hanya melihatnya.

Wonwoo mencoba mencari celah agar Mingyu tidak melihatnya. Ia tidak lagi memedulikan meski Mingyu dan anaknya kembali masuk ke area sekolah. Yang ia pikirkan, ia tidak ingin Minwoo melihat Mingyu dengan anaknya.

"Tolong ... jangan biarkan anakku melihatnya, Tuhan. Jangan biarkan Minwoo merasakan kesedihan," doanya sembari mempercepat langkah kakinya.

Wonwoo bukan hanya seorang yang melahirkan Minwoo. Tapi lebih dari itu. Ia adalah seseorang yang rela menerjang luka demi anaknya. Ia rela membangun prasasti dengan menorehkan darahnya demi kebahagiaan Minwoo.

The Truth Behind The Secret Donde viven las historias. Descúbrelo ahora