BAB 1

8.8K 2K 132
                                    

“Uang?” Suara berat yang disuarakan dengan kasar itu membuat Padma memejamkan mata, berusaha menahan amarah yang mulai membubung dalam dirinya.

Demi Tuhan, ia sudah merendahkan diri dengan datang ke mari. Rumah penuh kenangan yang kini sangat ia benci, melebihi apa pun di dunia ini.

Tapi, semua demi malaikat tak berdosa yang kini menunggu di rumah dengan senyum paling cemerlang, yang setiap kali Padma melihatnya, bisa meredam segala gundah yang disebabkan oleh dunia yang kejam terhadap mereka.

“Kamu pikir aku bank?”

Mengepalkan tangan di atas pangkuan yang goyah, Padma menahan napas. “Kamu tahu Arsa sudah empat tahun sekarang.” Dari gerakan salah satu alis lelaki itu yang terangkat angkuh, kenyataan pahit itu menyerang Padam hingga hatinya terasa pedih. Dia bahkan melupakan ulang tahun putra mereka yang terjadi nyaris dua bulan lalu.

Batin Padma tertawa mengejek. Apa yang ia harapkan dari mantan suami yang menelantarkan istri dan anak karena orang ketiga. Sungguh, Padma tak apa disakiti sedemikian rupa. Dia rela dilupakan oleh lelaki biadab ini, tapi jangan Arsa. Jangan putra mereka yang tidak berdosa. Padma mati-matian menahan tangis hingga tenggorokannya terasa sakit.

“Dan ada apa dengan usia empat tahun?” tanyanya tak acuh. Diajukan oleh laki-laki, yang karenanya dulu membuat Padma menentang keluarga demi bisa menikah dengan manusia ini, bahkan masa depannya pun Padma lupakan. Mengira dia, Addie Sanjaya, merupakan sosok pangeran yang selama ini ia nantikan di masa-masa remajanya yang sulit.

Namun, ternyata bukan. Addie, satu lagi alasan kehancuran hidup Padma yang membuat perasaannya hampir tak pernah lepas dari luka. Hingga Padma bahkan tak bisa membedakan, yang mana sakit karena pengkhianatan, dan yang mana patah hati. Pedih itu seolah sama saja. Hampir tak bisa ia tanggung.

“Aku ingin menyekolahkannya,” ujar Padma dengan suara lemah. Ia kian menenggelamkan diri pada sofa bagus dan empuk yang dulu merupakan tempatnya bermain dengan Arsa. Tempat ia membaca sambil menyandarkan kepala di bahu lelaki yang kini menatap Padma seolah ia orang asing. Orang asing menyebalkan dan ... hina.

Apakah cinta memang begitu? Hanya indah di awal-awal saja? Padma tidak tahu. Dia tidak punya pengalaman menyedihkan macam ini kecuali dengan Addie. Mungkin karena itulah ia kewalahan  saat diserbu perasaan menggebu-gebu dengan lelaki ini dulu. Lalu seolah menjadi wanita paling beruntung di seluruh dunia saat Addie memintanya menjadi istri.

“Dia baru empat tahun, Padma.” Addie mengucapkannya seolah Padma wanita bodoh.

“Pendidikan anak usia dini,” jelas wanita itu tak menyerah, meski ia sudah tak tahan berada di bawah tatapan mata yang dulu memandangnya seolah ia bidadari yang turun dari surga. Dan mengingat masa lalu hanya akan membuat ia lebih dan lebih terluka lagi. Padma menunduk, menolak memandang sang lawan bicara, tak ingin memberi Addie kepuasan dengan mengetahui sakit yang ia rasa dari matanya. Addie tidak berhak atas itu. Addie bahkan tidak berhak menyakitinya sedalam ini. Sama sekali tidak.

“Nggak usah macem-macem deh kalau nggak punya uang!” Addie bersedekap. Dia masih berdiri di sana, di dekat sofa tunggal. Menjulang bak manusia paling berkuasa di bumi. Yah, saat ini dia memang lebih berkuasa dari Padma yang ditinggalkan tanpa uang sepeser pun. Diusir dari rumah besar yang awalnya ia kira akan menjadi istana terakhirnya sampai maut menjemput. Kenyataan bahwa, rumah besar ini hanya tempat singgahnya sementara membuat Padma benci. Ada ratu lain yang menempati rumah ini sekarang. Yang mengubah seluruh tatanan tangan Padma. Pun sudah menyingkirkan seluruh fotonya dan Arsa yang dua tahun lalu masih menggantung di dinding ruang tamu ini dengan bingkai besar dan cantik.

“Aku nggak, tapi kamu punya.”

“Lalu apa kamu pikir aku akan memberikannya sama kamu?”

Padma membeku. Rasa dingin merambati sepanjang tulang punggungnya yang kaku. Ia menganga, hanya untuk mengatupkan mulut kemudian dengan ... dengan ... ah, ia bahkan kehilangan kata. “Arsa anak kamu juga!” ujarnya kemudian dengan suara serak, berusaha melawan rasa tercekat di tenggorokan. Jiwa Padma yang rapuh menangis untuk putranya yang malang.

PadmaWhere stories live. Discover now