#DearMyPastSelf

57 9 4
                                    


Disclaimer: Hetalia belongs to Himaruya Hidekaz

Warning: Typo, OOC, future fic, First person pov, etc...

.

.

.

.

Tahun 2100, atau mungkin ini tahun 2101, atau 2102, atau 2103, atau bahkan 2110...

Rentang waktu satu tahun sedari dulu selalu merupakan waktu yang singkat bagi kami. Ketika kau sudah tinggal selama beratus tahun—dan mungkin juga ribuan tahun, hari-hari berlalu seperti perubahan detik, dan tahun berganti seperti manusia biasa melewati hari baru.

Perubahan itu tak menjadi signifikan lagi. Apalagi jika kau mengurung diri dan hanya memikirkan satu hal. Berkutat pada layar terang benderang, melupakan definisi lelah dan lapar sampai kau akhirnya pingsan. Baru diingatkan oleh limit tubuhmu.

Dan walaupun begitu, aku akan bangkit lagi mengulang hal yang sama sampai ambruk yang berikutnya.

Suara ketuk pintu hampir tak kusadari. Banyak hal yang berlangsung disekitarku yang lambat atau sama sekali tak kusadari akhir-akhir ini.

Aku berdiri. Langkah pertamaku goyah. Otot-otot kakiku kebas setelah sekian lama duduk. Namun aku berhasil mencapai pintu tanpa terjatuh karena kaki yang lemas.

Seraut wajah yang menunggu di balik pintu menyambutku dengan ekspresi cemas biasanya. Kemudian berganti lega saat tahu aku menyambutnya lebih cepat, tanpa perlu ia dobrak paksa seperti beberapa kesempatan yang lalu.

"Oh, Canada," sapaku dengan suara serak. Berjam-jam aku tidak bicara. Kopi yang entah berapa kaleng aku minum sehari-harinya ikut berkontribusi mempengaruhi pita suara.

"Aku membawa roti dan beberapa bacon dan selada, kau mau sandwich?" sahutnya memperlihatkan kantung plastik yang ditentengnya.

Aku tersenyum lebar. "Tentu!" sahutku, mana mungkin aku menolak dibuatkan makanan.

Canada masuk dan langsung pergi ke dapur. Aku kembali ke ruanganku dan saudaraku itu tidak mengeluhkan perbuatanku yang tidak mengacuhkan tamu.

Ia masuk ke kamarku dengan membawa nampan berisi lima potong sandwich dan mug berisi teh.

Wangi lembut teh lah yang membuatku menyadari kehadirannya. Ia meletakkan nampan di ruang kosong yang masih tersisa di lantai di dekat tempatku bersila. Tahu kalau aku akan memarahinya jika ia meletakkannya diatas kertas-kertas yang menumpuk. Tak peduli setebal dan selebar apa kertas-kertas itu menumpuk sehingga telah membentuk pondasi yang cukup kokoh untuk meletakkan sebuah nampan ringan.

Aku berhenti mengetik pada keyboard. Meraih mug dengan kedua tangan. Menghirup aromanya dan menahan diri mengeluarkan wajah sedih yang akan membuat Canada menatapku dengan pandangan khawatir.

Dia sudah cukup baik untuk terus mengecek keadaanku. Aku sudah terlalu banyak membuatnya cemas belakangan ini.

Canada membiarkanku makan sementara ia memasukkan kaleng-kaleng dan botol-botol minuman energi dan kopi yang berserak di lantai. Memenuhi setengah dari kantung plastik besar yang ia bawa serta.

"Kau tidak hanya mengkonsumsi ini kan selama seminggu?" tanyanya dengan kening berkerut halus memandangi kaleng dan botol yang ada di dalam kantung yang ia pegang.

Aku tidak langsung menyahut. Memasang wajah paling tidak bersalah saat menjawab, "Entahlah, kurasa tidak."

Ia menghela napas. Dengan cepat roti lapis yang dibuatkan habis aku telan dan teh hangat telah aku teguk setengahnya, dan aku kembali menatap layar komputer.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 14, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ikigaiWhere stories live. Discover now