Katanya Sih Sudah Tamat, Tapi Itu Adalah Awal Dari Cerita Kami

19 1 0
                                    

Kata Agni, kami akan ziarah ke makam Nirmala. Hal itu kami lakukan bukan dalam rangka apa pun. Hanya sebagai tanda persahabatan. Lagipula itu ide yang bagus jadi aku manut saja. Sepanjang perjalanan, yang menyita perhatianku adalah boneka gurita yang dipeluk Agni. Selain itu, waktu dia datang tadi matanya agak bengkak. Bengkak yang sangat mungkin disebabkan karena menangis. Apa Agni baik-baik saja? Soalnya aku langsung ingat kata Nirmala, kalau hubungan Agni dan papanya nggak baik. Dan, itu sudah kuyakini dengan cara mereka menyelesaikan masalah tentang Nirmala yang macam dagang saja pakai sistem barter.

Balik lagi ke gurita, kalau nggak salah ingat di kafenya juga ada ruangan khusus gurita kan? Ini cewek apa segitu sukanya sama hewan laut melambai itu?

"Kenapa?" tanyanya saat memergokiku terus menatap.

"Nggak," kilahku. "Anu, itu... kamu suka banget sama gurita kayaknya."

Agni menunduk untuk melihat bonekanya sebentar.
"Oh, ini? Ini udah kayak jimat penenang buatku. Kalau ada apa-apa tinggal peluk aja, hati bakal adem dan pikiran jadi tenang. Dia juga bisa jadi pengganti Mama."

Aku masih menunggu penjelasan Agni. Siapa tahu dia mau meneruskan keterangannya itu. Dan benar saja.

"Gurita bakal melindungi telur-telurnya sampai menetas. Dia nggak akan ke mana-mana. Dia nggak bakal meninggalkan sarang bahkan jika kelaparan sekalipun. Asal telur-telurnya bisa menetas, induk gurita rela meregang nyawa. Itu, kurang lebih sama kayak Mama. Beliau milih aku ketimbang harus menyelamatkan nyawanya sendiri." Agni menjeda ceritanya untuk menatapku sambil tersenyum. "Ada kista indung telur. Jadi dokter hanya bisa menyelamatkan satu nyawa."

Agni mengelus-elus boneka guritanya. Tatapannya sayu. Aku pun seolah bisa merasakan betapa sedihnya dia yang nggak bisa merasakan kasih sayang ibu. Jika sudah begini, apa alasanku untuk nggak sayang sama Bapak dan Mamak? Meski Tuhan memberiku kelebihan yang kuanggap sebagai kekurangan, tapi Dia memberiku keluarga utuh yang harmonis. Aku juga selalu dipertemukan dengan orang-orang baik, nggak melulu dirundung. Apa jangan-jangan ini teguran-Nya buatku yang selalu iri dengan mereka yang kaya?

Setibanya di pemakaman, aku mengikuti Agni untuk sampai ke tempatnya Nirmala. Kuburan Nirmala sangat cantik dan bersih menurutku. Ada pohon kenanga kuning setinggi dada yang memberikan kesan teduh. Rerumputan liar nggak terlihat, bahkan taburan bunga di atas gundukan tanah itu belum benar-benar kering.

Aku dan Agni menyampaikan doa kami. Dan dari situlah aku baru menyadari satu hal. Cara Agni berdoa nggak sama denganku. Tangannya tertangkup rapat di depan dada. Dan gelang trimurti yang begitu umum dijumpai di Bali itu makin memperjelas perbedaan kami.

Ah, goblok! Kenapa aku baru sadar, sih? Ke mana saja, Pan? Buta apa?

Aku berani mengolok diri sendiri. Rasanya itu lebih baik daripada mengakui kalau saat ini hatiku perih. Segininya Tuhanku memberiku petunjuk tentang satu gadis yang harus kuakui telah membuatku jatuh hati. Padahal aku sudah berusaha untuk mengabaikannya, tapi rasanya susah banget.

Aku menelan ludah. Ealah, asem! Sakit banget, Coy!

Dia bukan untukmu, Pan. Toh dia juga bakal pergi.

Dua kalimat itu kupaku dalam-dalam di dalam sana meski hati miniku nggak terima.

"Aku sama Nirmala sebenarnya pernah temenan, Pan."

Fakta yang sudah kutahu itu akhirnya diungkap Agni. Meski Nirmala pernah bilang, tapi nggak ada salahnya buat tahu hubungan mereka dari sudut pandang Agni sendiri.

"Kami temanan sejak kelas sepuluh. Dia satu-satunya yang nggak pengin ambil untung dariku. Anaknya pemalu dan polos. Tapi sebenarnya kalau udah ketemu yang sefrekuensi bakal heboh, sih. Dia juga nggak pilih-pilih temen. Siapa yang baik sama dia ya itu dianggap temennya. Polosnya emang nyerempet ke goblok, sih."

Ghost, Away! (TAMAT)Where stories live. Discover now