Rasa-rasanya Bakal Happy Ending, Tapi....

13 1 1
                                    


Kali ini, aku nggak bisa ikut Agni menemui Devina. Soalnya panggilan kerja nggak bisa ditinggal, belum lagi tugas-tugas sekolah. Lagipula ini kesempatan bagus untuk sedikit jaga jarak dengan Agni setelah serangkaian percakapan kami kemarin.

Jujur saja, rasa sadar diri ini menyesakkan tapi harus kuterima. Aku bukan dari golongan mereka berdua. Jauh.

Kudengar, dua detektif swasta yang disewa papanya Agni turut serta. Gila, Man! Ini sudah kayak di film saja. Lagipula sebenarnya papanya Agni bisnis apa sampai bisa membayar detektif yang sudah pasti biaya jasanya nggak main-main.

Aku hanya bisa berharap, semuanya baik-baik saja. Selama mengerjakan pekerjaan sambilan yang kali ini mencuci mobil, aku nggak berhenti berdoa sama Tuhan agar Devina bisa kooperatif kayak Pak Tarjib dan lainnya.

"Udah, Pan. Kamu siram si Oren, biar Bapak yang gosokin si Abu."

Itu supir pribadi keluarga yang nyewa jasaku. Sedangkan Oren dan Abu adalah warna mobil yang sedang dibersihkan. Beliau satu-satunya supir tetap di keluarga itu makanya butuh bantuan buat nyuci mobil. Sedangkan biasanya mereka akan menyewa supir lain dalam kondisi tertentu. Oh iya, aku biasanya mendapatkan keluarga dengan status yang bisa dibilang konglomerat. Jika mendapat jatah cuci mobil seperti ini, sudah pasti yang akan kucuci lebih dari dua mobil. Yang saat ini saja ada lima mobil di bangunan khusus. Itu pun yang tiga dipakai majikan dan anak-anaknya. Gila juga sih.

"Kamu belajar nyetir mobil, Pan. Biar bisa jadi supir panggilan. Lumayan lho jatahnya. Pengalamannya juga bisa buat cari uang sendiri. Kalau belajar di tempat kursus kemahalan, minta tolong saja sama yang sudah bisa nyetir."

Aku inggih-inggih saja mendengar saran dari pak supir itu. Memang ada rencana buat belajar nyetir cuma belum memenuhi syarat. Sejauh ini pun aku hanya pernah mendapat teori dari Pak Limbuk dan supir-supirnya Pak Haji, belum sampai tahap mencoba. Belum ada nyali. Tapi kayaknya aku mesti meng-up grade kemampuan mulai sekarang.

Usai Maghrib, aku baru pulang dari sana. Atas jasa Pak Haji pula, aku nggak perlu bingung soal sistem bayaranku karena beliau mengharuskan bayar di muka semisal aku bisa memenuhi panggilan itu. Maka dari itu sebisa mungkin aku nggak mau bikin Pak Haji kecewa.

Saat dekat dengan indekos, aku melihat Agni sudah berdiri sambil mondar-mandir di depan mobilnya.

"Agni? Eh, Gea? Ngapain ke...," Agni yang tiba-tiba menubrukku membuat lidah ini kaku. "... sini?"

Aku bingung sama keadaan ini. Nggak terduga banget! Apalagi sekarang Agni malah menangis. Kenapa emangnya? Ada apa?

Baru saja ingin bertanya, sosok Juni yang melongok dari jendela mobil mengalihkan atensiku. Mengabaikan rasa penasaran tentang eksistensinya di sini, aku pun bertanya dengan isyarat tubuh.

Juni menggeleng-geleng. Dia memintaku menunggu Agni.

Dan akhirnya, setelah sekian menit Agni menangis sambil memelukku, dia bisa tenang. Kuminta dia dan Juni untuk masuk ke indekos daripada jadi tontonan banyak orang.

"Kamu kenapa, Ge? Dia macem-macem?" tanyaku sembari melempar tatapan tajam kepada Juni.

"Macem doang," sahut Juni sambil mengunyah camilannya.

Emang nggak bisa diajak serius tuh anak!

"Kamu nggak kenapa-kenapa kan?"

Lah? Aku tentu saja bingung saat Agni bertanya seperti itu.

"Nggak, nggak kenapa-kenapa. Kamu lihat sendiri aku sehat wal'afiat gini," kataku.

"Kamu jangan ke mana-mana seminggu ini ya? Nggak usah masuk sekolah. Nggak usah kerja. Kalau perlu, nggak usah keluar kos. Nanti aku bantu kalau kamu butuh sesuatu. Ya? Please!"

Ghost, Away! (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang