iii. graveyard

26 3 0
                                    

"Kau harus, dengan sangat, mengabariku setelah tiba di rumah, paham?" Kiriko berujar tegas.

Haru mengangguk kecil. "Aku pasti akan mengabarimu," balas gadis ituㅡterdengar tidak meyakinkan bagi kebanyakan orang; terlalu tidak niat.

"Senpai!"

Mereka berdua menoleh, dan mendapati Shuji berdiri tak jauh di depan gerbang sana. Ia terlihat jelas tidak sabar ingin menghabiskan waktunya dengan si Gadis Sosiopat. Raut wajahnya menggambarkan itu semua, tatap yang menyala tertarik dan seringai lebar andalannya.

Kiriko menatap Haru tak rela, tetapi akhirnya tetap berujar, "Baiklah, berhati-hatilah. Jangan lupa memberiku kabar."

Haru tersenyum tipis dan mengangguk pelan, "Mochiron desu."

Kiriko pun balas mengukir senyum lima jari dan berjinjit untuk menepuk kepala gadis itu lembut.

Respon ini merupakan rahasia umum bagi seluruh penduduk SMA Shibuya. Mereka semua tahu bagaimana perlakuan itu adalah bentuk ekspresi dari kesenangan tersendiri bagi Kiriko, setiap kali menerima seulas senyum kecil itu dari Haru.

Setelah Kiriko melepas aksinya, Haru berbalik dan berlalu menghampiri adik kelasnya itu. Begitu jarak mereka sudah cukup dekat, gadis itu memutuskan untuk bertanya, "Apa aku harus menjawabnya sekarang?"

Shuji terkekeh pelan, "Santai saja. Aku masih ada satu pertanyaan lagi."

Lawan bicaranya mengangkat salah satu alisnya dengan tatap penuh tanya.

"Bolehkah aku ke rumahmu, Senpai?"

Mereka berdua bersitatap selama beberapa saat. Haru yang sedikit bingung dengan permintaan tiba-tiba itu, sedangkan Shuji mengantisipasi persetujuan dari sang empunya rumah.

"Iiyo," jawab Haru akhirnya.

"Yosh!" Shuji berseru tertahan. Laki-laki itu kemudian mempersilahkan Haru untuk memimpin jalan, dengan postur sedikit membungkuk dan gestur tangan yang terayun maju.

Haru kembali menaikkan salah satu alisnya. "Kau ... ingin apa lagi?"

Senyum Shuji perlahan luntur, "Astaga. Silahkan pimpin jalannya, Harumi-sama."

Wajah Haru semakin keruh. "Harumi-sama?" Ia bertanya selagi melanjutkan langkahnya, diikuti Shuji di sisi kanannya. "Bukankah itu panggilan yang terlalu formal?"

Shuji berdecak gemas, "Memang. Aku melakukannya dengan sengaja ...."

"Sebagai bahan lelucon?" tanya gadis itu sedikit merasa terganggu.

Lawan bicaranya mengerjap-ngerjap, lantas mengeluarkan tawa lebar, "Iya, benar."

Haru hanya bisa menghela napas tak suka.

"Meski begitu, aku tidak sungguh-sungguh mengatakannya," imbuh Shuji santai.

"Kenapa?" Alis Haru mengerut samar.

"Karena tidak layak?" Shuji balas bertanya penuh gurau. "Maksudku, lebih baik kau saja yang memanggilku Shuji-sama, secara serius."

"Secara serius?" Haru terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya menengadah dan menatap lawan bicaranya. "Shuji-sama ...?"

Shuji tertegun, tetapi laki-laki itu buru-buru berdeham dengan telinga luar biasa merah dan wajah yang tersipu samar. "Lupakan. Sekarang saatnya kau menjawab pertanyaanku tadi siang."

"Uh ... baiklah," sahut gadis itu ragu, sedikit tidak mengerti dengan perubahan tingkah Shuji. "Apakah aku pernah membunuh orang? Tentu saja, jawabanku bergantung pada implikasimu," jelas Haru kemudian.

"Implikasi?" ulang Shuji tak mengerti.

"Sugesti yang kau miliki di balik pertanyaan itu." Haru memberi jawaban singkat. "Beberapa orang mempertanyakan sesuatu secara harfiah, sedangkan beberapa ... selalu berakhir bilang bahwa itu tidak mungkin; setidaknya aku pernah membunuh seseorang lewat tatapan datarku, pertanyaan-pertanyaan bodoh, bahkan lewat suaraku."

Shuji sama sekali tidak menahan diri untuk mengulas senyum geli, "Kalau begitu, maksudku adalah secara harfiah."

Haru menunduk dan memandangi sepatu putihnya yang sibuk menendang serpihan batu aspal. "Tidak pernah. Aku memiliki banyak informasi tentang tata caranya, tapi tidak pernah ada uji lapangan."

Seringai laki-laki itu melebar, "Baiklah, baiklah. Meski begitu ...."

"Ah, kita sudah sampai," beritahu Haru sebelum Shuji benar-benar menyelesaikan kalimatnya. "Apa kau memiliki pertanyaan lain?" tanyanya tanpa menoleh, karena sedikit sibuk membuka pagar rumah.

Shuji mengedikkan bahunya singkat dengan seringai tipis, "Bagaimana kabar orang yang rumornya menjadi korban pembunuhanmu itu?" Ia bertanya tanpa ragu.

Pagar berayun terbuka, selagi gadis itu akhirnya mengalihkan atensinya. "Rei? Dia baik-baik saja," jawab Haru singkat, kemudian melanjutkan langkahnya diikuti sang tamu.

Pandangan laki-laki itu mengedar, memperhatikan luasnya perkarangan hijau nan penuh bunga itu. "Kau suka berkebun?" Ia berlalu mendekati sebaris semak-semak dengan bunga peony, sekadar mengamatinya.

"Bukan aku, tapi Ibu." Haru menaiki dua anak tangga menuju teras rumahnya yang bergaya modern tradisional Jepang.

"Karena kau lebih hobi mengubur manusia ketimbang akar tanaman?" tanya Shuji lagi, kali ini senyum miringnya terpatri jelas.

Haru yang hendak membuka pintunya pun berakhir berhenti. "Itu akan menjadi pilihan terbodoh," balasnya dengan gelengan kepala. "Lebih baik menenggelamkannya di suatu tempat. Rawa; klasik, tak ada batasan, pembusukan terjadi dan jasadnya hilang . Alkaline Hydrolasis; proses sainsnya tak meninggalkan jejak, tapi hanya legal di beberapa bagian Amerika Serikat, jadi penyelundupan ke Jepang akan sangat merepotkan jika tak memiliki koneksi istimewa."

Gadis itu kemudian membuka pintu rumahnya. "Tadaima."

"Okaeri, Haru." Ibunya tiba-tiba muncul dari balik lorong. "Ah, kau bawa teman?"

"Hanma Shuji desu," sahut Shuji tanpa diminta.

"Baiklah, Ibu akan menyiapkan kudapan dulu," tutur beliau kemudian kembali hilang di balik sekat pemisah itu. "Jangan lupa jaga sikap, Haru!" peringat sang Ibu kemudian.

"Baik," jawab gadis itu tanpa banyak ekspresi, selagi melepas sepasang sepatunya.

"Kalian mirip sekali," komentar Shuji, akhirnya mengerti mengapa Haru bisa menjadi ... Haru.

Perawakan keduanya memang seidentik itu, hanya dibedakan umur dan fitur wajah di beberapa titik. Belum lagi dengan sifat mereka, benar-benar menggambarkan kiasan: "Buah jatuh tak jauh dari pohonnya," sahut Shuji lagi.

"Ya?" Gadis yang dibicarakan menyahut tak paham. Ia sudah berdiri di lorong saat ini, menunggu Shuji yang sedari tadi belum selesai melepas sepatunya.

"Lupakan." Shuji kembali mengulas senyum, "Aku lebih tertarik membahas soal alkaline tadi."

×××

tbc

lengkara ๑ hanma shujiWhere stories live. Discover now