3. Homeless.0

1.2K 54 1
                                    

Entah kenapa mendengar namaku terucap dari bibirnya membuat bulu kudukku berdiri. Aku benar-benar gak paham bagaimana bisa orang yang baru saja kutemui memiliki efek seperti ini pada diriku.

"Air putih aja, makasih," gumamku. Si Om mengangguk.

"Om, aku ambil beer boleh?" tanya Monik. Kulihat ke arahnya dan melihatnya nyengir kuda.

"Ambil aja," jawab si Om kalem.

Monik kembali dengan dua gelas air putih di masing-masing tangannya, dan sebuah kaleng beer yang dijepit di lipatan sikunya.

"Makasih," kataku, Monik tersenyum dan mengangguk.

"Ayok ngobrol sambil makan," kata si om.

"Makan dulu lah, Om. Makan gak boleh sambil ngobrol," omel Monik.

"Iya, iya, cerewet. Kita ngobrol sampek supnya dingin—"

"Anget. Dingin gak enak," sahut Monik menyela omongan si om, yang sekarang sedang menghela napas panjang.

"Iya, sampai supnya anget, terus makan, habis itu ngobrol lagi," si om melanjutkan.

Monik membuka kaleng beer-nya, meneguk isinya sambil mengacungkan jempol. Si om menggelengkan kepalanya.

"Kamu temennya Renata?" tanya si Om, aku memberanikan diri untuk mengangkat pandanganku ke arah wajahnya.

Astaga, bahkan dengan facial hair yang tebal di wajahnya dia masih terlihat sangat tampan. Matanya warna hijau emerald—yang nggak biasa untuk orang Indonesia, dilengkapi dengan alis tebal. Hidungnya mancung, lalu tulang pipinya tinggi dan bibirnya penuh. Pertanyaannya barusan menguap begitu saja, tak kujawab karena sibuk memperhatikan setiap fitur di wajahnya.

"Kenalin, aku Ares. Ares Dwipangga. Monik panggil aku Om, walaupun aslinya aku gak setua itu—"

"Makanya cukuran dong, Om. Brewokan gitu keliatan kayak manusia goa, tau?" potong Monik.

"Hish, bocah. Kamu yang cuci piring seminggu!" desis Ares, Monik mengembungkan pipinya. "Intinya, kamu boleh panggil aku Ares, Om, Mas—"

"Atau Daddy," potong Monik. Aku langsung menoleh ke arahnya dan mendapatinya sedang menaik-turunkan alisnya, dilengkapi dengan senyuman usil, menggodaku. Mukaku panas, pasti sekarang terlihat merah seperti kepiting rebus.

Ares terbatuk-batuk. Aku menyodorkan air putih kepadanya, lalu melotot ke arah Monik yang tersenyum simpul.

"Om aja, ya?" tanyaku.

"Ares aja," katanya.

Monik bersiul. "Cieeee, yang minta dipanggil namaaa," godanya. Kali ini Ares tak menggubrisnya.

"Ares," ulangku. Kulihat pupil matanya melebar dan dia menggigit bibir bawahnya selama sepersekian detik, hanya sebentar tapi cukup untukku sempat menyadarinya.

Kulirik Monik yang senyam-senyum sambil memperhatikan kami.

Aku mengingat kembali pertanyaannya tadi, dan menjawab. "Aku dan Renata sahabatan. Tapi semenjak dia pindah ke Singapore, makin kesini makin susah dihubungin. Sudah setahun nomornya nggak aktif. Aku kangen, pengen tau kabarnya sekarang, semoga penyakitnya sudah diangkat Tuhan," jawabku atas pertanyaan yang sempat terlupakan.

Ares mengangguk. "Nanti aku coba cari cara hubungin dia," katanya. Aku senyum dan berterima kasih, "Lalu sebelum ini kamu tinggal di mana?"

Saking gugupnya, aku lupa menanyakan bagaimana dia kenal Renata, atau dari mana dia tahu kalau aku mengenal Renata.

"Sebelumnya, namaku Mariska Anggara, biasa dipanggil Mariska atau Riska," kataku. Ares melakukan hal itu lagi pada bibirnya, mungkin itu memang kebiasaannya. "Sebelumnya aku tinggal di Jalan Bulus nomor 58—"

"58? Rumah tiga lantai warna kuning dengan aksen Jawa yang di pojokan itu?" potongnya. Aku mengangguk. "Itu rumahnya Om Ivan—papanya Renata, kan? Bukannya istrinya udah meninggal? Terus siapa yang usir kamu?" tanyanya heran.

Aku menghela napas panjang. "Sebelum Renata berangkat ke Singapore, almarhumah mamanya menitipkan rumah itu ke aku supaya ada yang awasin dan tetap terawat. Tapi setelah mamanya Renata meninggal dan papanya gak pernah ngecek rumah itu lagi, Bik Minah, pembantu yang ditugaskan untuk bersih-bersih, bawa seluruh keluarganya untuk tinggal di situ, lalu lantai dua dan tiga dikoskan sama si bibik. Aku sudah satu setengah tahun ditarik bayaran tiap bulannya. Selama itu aku selalu bayar kos setiap tanggal dua karena gajianku memang tanggal segitu, dan setiap kali dia selalu ngomel. Katanya bayar kos ya harus tanggal satu kecuali kalau mau bayar sekalian setahun kayak yang lainnya." Aku menjelaskan panjang, lebar, dan tinggi.

"Sampah," gumam Monik.

"Well, that's low (rendahan)," kata Ares dengan mimik muka kesal.

"Tadi aku telat pulang kerja karena hujan deras, jadi aku tunggu agak reda. Begitu sampai kos semua barangku udah di teras, sebagian basah. Kucingku juga di luar, untung dia nungguin aku dan gak lari ke mana-mana," lanjutku.

Beberapa jam sebelumnya ...

Malam ini hujan turun dengan derasnya, disertai angin yang meniup guyurannya ke arah mana pun yang ia mau. Petir bergemuruh bersahutan di langit yang gelap karena mendung yang pekat. Cuaca memang tak lagi mudah diprediksi seperti dulu, dan harusnya saat ini belum memasuki musim penghujan.

Aku yang lupa untuk membawa jas hujan harus menunggu selama lebih dari 1 jam sampai hujan sedikit mereda. Kupilih untuk berteduh di depan ruko kafe tempatku bekerja paruh waktu.

Pemilik usaha yang juga bosku tadi harus pulang lebih awal karena ada urusan mendadak. Jadi akulah yang harus menutup kafe malam ini. Kunci sudah kutitipkan pada security yang berjaga di kompleks pertokoan ini. Pegawai kafe yang lain sudah tahu ke mana harus mengambil kunci bila tiba di sini dan menemukan kafe belum dibuka.

Kalau saja aku tahu hujan akan turun sederas ini, nggak akan kututup dulu kafenya dan menunggu di dalam saja.
Baru saja aku hendak mengecek waktu ketika menyadari bahwa ponselku mati.

'Sialan, lagi-lagi aku lupa nge-charge hape! '

Suara klakson dari sebuah mobil di jalan raya depan ruko yang sesaat kemudian menyalip mobil yang berjalan lamban di depannya, membawaku keluar dari lamunan.

Tanpa kusadari hujan sudah nggak lagi sederas tadi, hanya meninggalkan gerimis. Petir juga tak lagi terdengar.

Aku pun memutuskan untuk pulang ke kosan. Gakpapa deh basah, sesampainya di kos aku akan mandi dan ganti baju bersih. Pippo, kucingku, sudah menungguku.

Sebulan yang lalu di pertigaan kompleks kulihat ada rumah besar yang sedang direnovasi. Barusan saat lewat kulihat bangunan tersebut sudah rampung, berdiri megah dengan desain modern minimalis, dilengkapi dengan halaman luas dengan lansekap taman yang indah. Di bagian pagar depannya terdapat spanduk bertuliskan 'TERIMA KOS PUTRI UNTUK MAHASISWI DAN KARYAWATI'.

Wow, mungkin kapan-kapan kalau sudah lulus kuliah dan punya pekerjaan tetap, aku akan ngekos di situ, well ... sampai aku bisa punya rumah sendiri. Alasanku ingin pindah kos kesana, pertama karena bangunan dan furniturnya pasti relatif masih baru. Kedua, karena lokasinya yang lebih strategis daripada kos lamaku. Dan ketiga, karena situasi dan kondisi di kosku yang sekarang sudah nggak lagi kondusif.

Gerimis masih mengguyur saat aku menghentikan motor di parkiran kosan. Aku mengunci motor matic warna putih yang kubeli tahun lalu, motor second dalam kondisi layak pakai dan tentu saja dengan harga miring. Saat balik badan untuk masuk melalui pintu depan, pemandangan di teras membuatku melongo.

Ada tumpukan barang-barang yang dengan cepat kukenali sebagai milikku, sebagian besar dalam kondisi basah, kuduga karena terpaan hujan angin beberapa jam yang lalu.

'Ngapain barang-barangku di luar sini?'

Sayup-sayup kudengar lantunan musik dangdut dari dalam rumah yang seluruh jendela dan pintunya tertutup rapat.

'Kampret! Aku pencet bell pun gak bakal ada yang dengar.'

.
𝕁𝕒𝕟𝕘𝕒𝕟 𝕝𝕦𝕡𝕒
🇰 🇱 🇮 🇰⭐ 🇻 🇴 🇹 🇪 
𝕕𝕒𝕟 𝕥𝕚𝕟𝕘𝕘𝕒𝕝𝕜𝕒𝕟 𝕜𝕠𝕞𝕖𝕟𝕥𝕒𝕣

Om KosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang