Si pemilik kamar tersentak kecil, untung saja dia tidak jatuh dari jendelanya ke halaman di bawah. Hanya terkejut sedikit. Seseorang entah sejak kapan masuk ke dalam kamarnya, Jeno semakin terkejut.

"O-oh... sejak kapan di sini?"

Mark mengernyit, dia berdiri dengan jarak sekitar 2 meter dari jendela, menatap Jeno dengan alis terangkat sebelah. Laki-laki yang mengenakan hoodie sage green dan kupluk beanie coklat itu mendekat selangkah.

"Are you really?"

"Apa?"

"Gue dari tadi ketuk pintu kamar lo tapi gak ada sahutan, terus i've call you for several times tapi gak sadar juga." Mark nampak sangat terheran.

Jeno hanya mengulum bibir, "sorry."

Lantas diamlah Mark Lee.

Sebenarnya dia cukup sadar semenjak Jeno tidak menanggapinya sama sekali ketika ia mengetuk pintu kamar, dia tahu ada yang sedang dipikirkan sohibnya. Lalu setelah Jeno mengatakan maaf barusan, Mark sudah merasa sangat jelas.

Jeno tidak banyak berekspresi, hanya seperti biasa, senyum tipis yang nampak tidak ikhlas bagi Mark. Cara duduknya terlihat seperti orang galau, apalagi saat menatap keluar.

Sepasang mata Jeno yang gelap itu seperti menyimpan banyak draf yang mana hanya Jeno sendiri yang tahu akan itu.

"Are you okay?" Mark bersuara lagi akhirnya, kali ini lebih pelan.

Diam Lee Jeno, masih menatap Mark dengan datar. Meski Jeno berusaha terlihat biasa saja, namun pancaran obsidian legamnya itu tak akan pernah bisa berbohong.

Menggeleng pria itu, "I'm not okay," pasrah.

Mark hanya bisa menghela napas samar, dia tahu ini sangat berat untuk sahabatnya.

Pria blasteran Kanada itu mengulurkan tangan, berharap bisa memberikan sedikit kenyamanan di pundak sohibnya. Meski mungkin Mark tak ahli dalam hal seperti ini, dia sungguh mencoba sebaik mungkin.

"I know, i knew it. This is hard for you," katanya.

Lee Jeno mengusap wajahnya, kembali menyandarkan kepala di bingkai jendela. "How come... how come she forgot about us... that easily?"

Nampak putus asa sekali dari caranya berbicara.

"No, gue tau ini salah gue, dan... i mean... se-nggak deserve itu kah gue... Mark?"

"It's not like that, dude. Don't ever say that, you deserve better. And even for me you deserve a universe, ini bukan salah lo, gue tau itu dengan baik. You treat her so well, you always treat her like a queen, but... if things don't go the way you want, then it's not fucking your fault. So please, please stop blaming your self."

Jeno terdiam mendengar kalimat Mark. Dia ingin menjawab, namun keinginannya hilang. Dia hanya... sedikit penat. Meski dia tahu bahwa apa yang dikatakan Mark tidak benar, setidaknya dia hanya akan menghargai usaha sahabatnya itu.

"Mark, I miss her," bisik Jeno, di sela-sela angin musim semi yang seolah merestui berita bahagia akan pernikahan Jeha dan Jaemin. "I love her, but... I'm letting her go."

What If [Series]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang